TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut pasal 5 UUD 1945 selain
presiden, DPR juga berhak mengajukan RUU yang disebut dengan hak inbsiatif,
dimana ketentuan akan hal itu terdapat dalam pasal 21 UUD 1945.
Dari ketentuan tersebut, oleh karenanya
pembentukan undang-undang tergantung dari mana datangnya insiatif untuk
membentuk Undang-undang. Didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan
Perundangundangan yang pada dasarnya dimulai dari
- Perencanaan
Mengenai perencanaan ini, dalam
pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, disebutkan bahwa Perencanaan penyusunan Undang-Undang
dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional yaitu instrumen perencanaan
program pembentukan Undang- Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan
sistematis sedangkan Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu
Program Legislasi Daerah.
Untuk meningkatkan hasil perencanaan
UU perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu antara lain :
- Mengusahakan penambahan pengetahuan para pegawai dalam bidang teknik membuat UU
- Mendaftarkan pegawai khusus untuk pekerjaan perencanaan UU dan mengadakan kursus-kursus untuk itu.
- Mengusahakan perpustakaan khusus
- Sebaiknya diusahakan agar dalam melaksanakan tugasnya tidak timbul adanya hambatan dan agar tidak diciptakan cara-cara bekerja baru yang lebih baik dan cepat serta efisien.
- Persiapan
Dalam hal persiapan penyusunan
peraturan perundangan-undangan disebutkan bahwa Rancangan undang-undang baik
yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan
Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional. Rancangan
undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah yang dimaksud tersebut
adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. namun dalam keadaan
tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan
undang-undang di luar Program Legislasi Nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 menyebutkan :
Pasal 18
(1) Rancangan undang-undang yang
diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
non departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
(2) Pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden,
dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Rancangan undang-undang yang berasal
dari Dewan Perwakilan Rakyat diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan
Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat
diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
- Teknik penyusunan
Kerangka dasar dari suatu peraturan
perundang-undnagan agar memenuhi fungsinya sebagai sumber hukum formil adalah
sebagai berikut :
- Penamaan atau intitul
yaitu penguraian secara singkat isi
dari peraturan perundnag-undnagan yang diletakan setelah nomor dan tahun
pembuatannya.
- Judul
- Pembukaan
Yaitu suatu rumusan yang mendahului
batang tubuh yang berisi uraian secara singkat dari pembentuk peraturan
perundnag-undangan mengenai maksud dan tujuan dibuatnya operaturan
perundang-undangan tersebut serta dasar hukumnya.
- Batang tubuh
yaitu memuat rumusan peraturan
perundang-undangan dala bentuk pasal-pasal. agar rumusan
peratuanperundang-undangan dapat dengan mudah dan cepat dipahami maka pelu
diadakan pembagian dalam batang tubuhnya,yang umumnya sebagai berikut :
-
Ketentuan umum
meletakkan ketentuanumum hendaknya
ditempat yang terdepan didalam peraturan perundang-undangan yaitu dalam bab
yang pertama atau pasal yang pertama,dimana memuat ketentuan-ketentuan yang
bersifat umum yang meliputi defenisi, pengertian dan arti singkatan-singkatan
yang dipakai
-
Materi yang diatur
Dalam hal ini berbentuk pasal-pasal,
dimana pasal-pasal itu harus memuat semua unsur dari peraturan
perundang-undangan itu
-
Ketentuan pidana
Mengenai hal ini hendaknya
ditempatkan dalam bab yang langsung berada diatas bab atau pasal ketentuan
peralihan, dan hendaknya dirumuskan dengan jelas, tegas dan cermat sehingga
orang dapat mengetahui dengan mudah apa yang dilarang atau diwajibkan karena
satu dan lain berhubungan erat dengan kepastian hukum.
-
Ketentuan peralihan
Yang dimuat dalam ketentuan
peralihan ialah ketentuan-ketentuan yang mengenai penyesuaian keadaan yang
sudah ada pada saat mulai berlakunya peratuaran perundang-undangan baru dengan
maksud agar peraturan perundang-undangan baru itu dapat berjalan lancar.
-
Ketentuan penutup
Yang dimuat dalam ketentuan penutup
pada umumnya adalah ketentaun tentang penunjukan alat perlengkapan yang diikut
sertakan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan, ketentuan tentang
pemberian nama singkat pada peraturan yang bersangkutan, ketentuan tentang
pengaruh peraturan perundang-undangan tersebut terhadap peraturan
perundang-undangan baru.
- Perumusan
- Pembahasan
Dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pembahasan rancangan undang-undang di Dewan
Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau
menteri yang ditugasi, dimana pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud tersebut yaitu yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
den daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah dilakukan dengan mengikutkan Dewan Perwakilan Daerah.
Kemudian dalam pasal 35 berbunyi :
(1) Rancangan
undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2) Rancangan
Undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat.
- Pengesahan
Rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi
Undang-Undang. Dimana penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
tersebutr dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama. Kemudian rancangan undang-undang tersebut
disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut
disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Namun walaupun dalam hal rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undangundang
tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
Undang-Undang dan wajib diundangkan.
- Pengundangan
Merupakan penempatan Peraturan
Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Dalam Pasal 46 ayat (1) menyebutkan
bahwa Peraturan Perundang-undangan yang iundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia, meliputi:
a. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Presiden
mengenai:
- pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan
- pernyataan keadaan bahaya.
d. Perataran Perundang-undangan lain
yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
- Penyebarluasan
Setelah semuanya itu selesai maka
kemudian Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang
telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara
Republik Indonesia.
Lembaga yang Berwenang dalam Pembuatan Undang-Undang
Peraturan tentang pembuatan undang-undang di Indonesia termaktub dalam UU
No. 10 tahun 2004. Dalam pasal 17 disebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik
yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan
Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Pasal ini
menegaskan bahwa lembaga yang memiliki wewenang atau terlibat dalam pembentukan
suatu undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPR).
Dalam perencanaan pembentukan suatu undang-undang, baik DPR, Presiden,
maupun DPD berhak mengajukan usulan. Pasal 19 ayat 2 menyebutkan, ‘Rancangan
undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh
Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 20 ayat 1
menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden
diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal
21 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat disampaikan dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
kepada Presiden’.
Dari beberapa pasal yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya, ketiga lembaga tinggi negara tersebut dapat mengajukan rancangan
undang-undang dengan mengacu pada asas-asas batang tubuh dan materi perundangan
sebagai diatur pada pasal 5 sampai pasal 7 UU No. 10 tahun 2004. Pembahasan
rancangan undang-undang yang telah diusulkan dilakukan bersama DPR melalui
komisi atau bagian yng bertanggung jawab pada pembahasan rancangan
undang-undang.
Berdasarkan
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945
(“UUD 1945”), kekuasaan untuk membentuk undang-undang (“UU”) ada pada Dewan
Perwakilan Rakyat (“DPR”). Selanjutnya, di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945
diatur bahwa setiap rancangan undang-undang (“RUU”) dibahas oleh DPR dan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Proses
pembentukan UU diatur dalam UU No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) . Selain itu, proses
pembentukan UU juga diatur dalam UU No.
27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 27/2009”). Berdasarkan Pasal
10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui
undang-undang adalah:
a.
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan
perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut
atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Dalam
UU 12/2011, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 s.d. Pasal
23, Pasal 43 s.d. Pasal 51, dan Pasal 65 s.d. Pasal 74. Sedangkan, dalam UU
27/2009, pembentukan UU diatur dalam Pasal 142 s.d. 163. Untuk proses
selengkapnya, Saudara juga dapat melihat pada Tata
Tertib DPR mengenai Tata Cara Pembentukan Undang-undang. Berdasarkan ketentuan UU 12/2011, UU 27/2009 dan Tata Tertib
DPR tersebut, kami sarikan proses pembentukan undang-undang sebagai berikut:
1. RUU dapat
berasal dari DPR atau Presiden.
2. RUU dari DPR
diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
3. RUU yang
diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya
4. RUU tersebut
kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan
Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun serta dibuat pula dalam jangka waktu
tahunan yang berisi RUU yang telah diurutkan prioritas pembahasannya.
5. Setiap RUU yang
diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau
pencabutan Perpu.
6. Pimpinan DPR
memberitahukan adanya RUU dan membagikan RUU kepada seluruh anggota DPR dalam
rapat paripurna
7. DPR dalam rapat
paripurna berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan
dengan perubahan, atau penolakan
8. Selanjutnya RUU
ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.
9. Pembicaraan
tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus
10.Kegiatan dalam pembicaraan
tingkat I dilakukan dengan pengantar musyawarah, pembahasan daftar
inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini fraksi
11.Pembicaraan tingkat II dilakukan
dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna berisi:
a.
penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini
DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I;
b.
pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
c. pendapat akhir
Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
12.Bila tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak
13.RUU yang membahas tentang otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
wilayah; pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya lainnya; dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan melibatkan DPD tetapi hanya pada
pembicaraan tingkat I saja.
14.Dalam penyiapan dan pembahasan
RUU, termasuk pembahasan RUU tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat
kelengkapan DPR lainnya.
15.RUU yang telah mendapat
persetujuan bersama DPR dengan Presiden diserahkan kepada Presiden untuk
dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan
dalam lembaran Negara Republik Indonesia
FUNGSI
PERATURAN PERUUAN
Bagir Manan mengemukakan pula
tentang fungsi peraturan perundang-undangan, yang dapat dibagi menjadi dua
kelompok utama, yaitu:[1]
- Fungsi Internal, adalah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum.
a. Fungsi penciptaan hukum.
Penciptaan hukum (rechtschepping)
yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau
terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui putusan hakim
(yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan
masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai
keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku
secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui
ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan
hukum.
Di Indonesia, peraturan
perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum. peraturan perundang-undangan
merupakan sendi utama sistem hukum nasional. Pemakaian peraturan
perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum nasional karena:
i) Sistem hukum Indonesia –
gebagai akibat sistem hukum Hindia Belandia – lebih menampakkan sistem hukum
kontinental yang mengutamakan bentuk sistem hukum tertulis (geschrevenrecht,
written law).
ii) Politik pembangunan hukum
nasional mengutamnakan penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai
Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum yurisprudensi dan hukum kebiasaan.
Hal ini antara lain karena pembangunan hukum nasional yang menggunakan
peraturan perundang-undangan sebagai instrument dapat disusun secara berencana
(dapat direncanakan).
b. Fungsi pembaharuan hukum.
Peraturan perundang-undangan
merupakan instrumen yang
efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak
sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.[3]
efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak
sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.[3]
c. Fungsi integrasi pluralisme
sistem hukum[4]
Pada saat ini, di Indonesia masih
berlaku berbagai sistem
hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hukum
kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”.[5]
hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hukum
kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”.[5]
Pluralisme sistem hukum yang berlaku
hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata
kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut tidaklah dimaksudkan
meniadakan berbagai sistem hukum – terutama sistem hukum yang hidup sebagai
satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan
berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang
harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya
bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara
berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat
yang bersangkutan.
c. Fungsi kepastian hukum
Kepastian hukum (rechtszekerheid,
legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling)
dan penegakan hukum (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan
umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat memberikan kepastian hukum yang
lebih tinggi dan pada hukum kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.
Namun, perlu diketahui, kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak
semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written).
Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain
harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu:
i)
Jelas dalam perumusannya (unambiguous).
ii)
Konsisten dalam perumusannya -baik secara intern maupun ekstern. Konsisten
secara intern mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang
sama harus terpelihara hubungan sietematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan
susunan dan bahasa. Konsisten secara eketern, adalah adanya hubungan
“harmonisasi” antara herbagrii peraturan perundang-undangan.
iii)
Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti.
Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasa
yang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidak
berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa hukum -baik
dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian dan upaya menjamin kepastian hukum[6] Melupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.
Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasa
yang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidak
berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa hukum -baik
dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian dan upaya menjamin kepastian hukum[6] Melupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.
- Fungsi Eksternal, adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:[7]
- Fungsi perubahan
Telah lama di kalangan
pendidikan hukum diperkenalkan fungsi perubahan ini yaitu hukum sebagai sarana
pembaharuan (law as social engineering).[8] Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk
untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya.
Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong menuju masyarakat
“parental” melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.
- Fungsi stabilisasi
Peraturan perundang-undangan dapat
pula berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan di bidang
pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah kaidah-kaidah yang terutama
bertujuan menjami stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup
kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata cara perniagaan dan
lain-lain. Demikian pula di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat
pula berfungsi menstabilkan sistem soeial budaya yang telah ada.
c. Fungsi kemudahan
Peraturan perundang-undangan dapat
pula dipergunakan
sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas).
Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan insentif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.
sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas).
Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan insentif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.
D. Asas-Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Asas hukum merupakan
tiang utama bagi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan, asas adalah suatu hal
yang dianggap oleh masyarakat hukum sebagai basic truth , sebab melalui
asas hukum pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum, dan
menjadi sumber menghidupi nilai-nilai etis, moral dan sosial masyarakatnya. Menurut I. C. Van Der Vlies dalam
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada beberapa asas formal dan material
yang harus perhatikan antara lain sebagai berikut:
1. Asas Formal
A. asas tujuan yang
jelas.
B. asas lembaga yang
tepat.
C. asas perlunya
pengaturan.
D. asas dapat
dilaksanakan.
E. asas konsensus.
2. Asas Material
a.
asas terminologi dan sistematika yang benar.
b. asas dapat dikenali
c.
asas perlakuan yang sama di depan hukum.
d. asas kepastian hukum.
e.
asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
Berbeda lagi dengan A. Hamid S Attamimi menurutnya asas
material terdiri:
1. asas sesuai dengan
cita hukum dan norma fundmental negara.
2. asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3. asas sesuai dengan prinsip negara hukum.
4. asas sesuai dengan prinsip negara berdasar konstitusi.
5. asas keadilan,
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
6. asas ketertiban,
perdamaian, pengayoman dan perikemanusiaan.
E.
Landasan
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan sekurang-kurangnya memuat:
A. Landasan Filosofis
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan folosofis (
filisofische grondslag ) apabila rumusannya atau normanya mendapatkan
pembenaran dikaji secara filosofis. Jadi mendapatkan alasan sesuai dengan
cita-cita dan pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan
sesuai dengan cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan ( way of life ),
filsafat hidup bangsa, serta kesusilaan.
B. Landasan Sosiologis
Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis (
sociologische groundslag ) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan
keyakinan umum, kesadaran hukum masyarakat., tata nilai, dan hukum yang hidup
di masyarakat agar peraturan yang dibuat dapat dijalankan.
C. Landasan Yudiris
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan yuridis (
rechtsground ) apabila mempunyai dasar hukum, legalitas atau landasan yang
terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Disamping itu
landasan yuridis mempertanyakan apakah peraturan yang dibuat sudah dilakukan
oleh atas dasar kewenganannya.
F. Bahasa Peraturan
Perundang-Undangan
Menurut C.K. Allen untuk
menyusun suatu peraturan perundang-undangan ada baiknya memperhatikan:
1. gaya bahasa ringkas
dan sederhana.
2. istilah yang digunakan bersifat absolut.
3. menghindari dari kiasan dan dugaan.
4. menggunakan bahasa
yang sederhana.
5. bahasa tidak menimbulkan perdebatan dan pertentangan.
6. bahasa yang digunakan mempunyai ketepatan pengertian.
Bahasa yang digunakan
dewasa ini dalam peraturan perundang-undangan:
1. jika, kata ini digunakan jika menyatakan hubungan syarat.
2. Apabila, kata ini digunakan menunjukkan uraian atau penegasan
waktu terjadinya suatu peristiwa.
3. dan/atau, kata ini berarti bisa digabungkan keduanya ( kumulatif ) atau
dapat pula memilih ( alternatif ) salah satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar