BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Peradilan Militer
Sebagai Peradilan Yang Berdiri Sendiri
Negara Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia
adalah Negara hukum.
Pelaksanaan penegakan hukum
dilakukan oleh badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang merupakan
alat kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa :
“Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Dalam peradilan militer, yang
disebut sebagai pengadilan sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut :
“Pengadilan
adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan
militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan
Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran”.
Keberadaan peradilan militer di
Indonesia tercantum dalam konstitusi Negara yang didasarkan kepada Pasal 24
ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX tentang kekuasaan kehakiman disebutkan
bahwa :
“Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Terbentuknya peradilan militer di
Indonesia pertama kali pada tahun 1947 didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1946 tentang Adanya Pengadilan Ketentaraan Disamping Pengadilan Umum.
Pembentukan peradilan militer ini setelah kurang lebih 2 (dua) tahun usia
kemerdekaan Republik Indonesia serta terbentuknya organisasi militer yang
diberi nama TNI.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer berbeda dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004
tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer mencantumkan tentang Oditurat serta Hukum Acara Pidana
Militer. Sedangkan dalam system peradilan umum, Hukum Acara Pidana terpisah dalam
undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
B.
Eksistensi Peradilan
Militer Di Era Reformasi
Menyangkut kompetensi, perubahan yang dikehendaki adalah bahwa peradilan
militer cukup mengadili terhadap perkara pidana sebagaimana tercantum dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), sementara itu perkara tindak
pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bila dilakukan oleh
militer, maka hal ini menjadi kewenangan dari peradilan umum. Hal ini
dimaksudkan agar asas kesamaan di muka hukum (equality before the law) dapat terwujud dengan tidak memandang
perbedaan status sipil maupun militer.
Hal lain yang terjadi dan berkembang
dalam system peradilan militer adalah pandangan umum selama ini terhadap
peradilan militer dipandang sebagai lembaga peradilan yang bersifat ekslusif , bersifat tertutup. Pendapat
lain bahkan menyatakan bahwa proses persidangan di pengadilan yang berada dalam
lingkup peradilan militer seolah-olah hanya diperuntukan bagi militer level bawah, sedangkan level atas sulit sekali tersentuh oleh hukum.
Alasan ini kemudian bergulir menjadi sebuah desakan agar kompetensi peradilan milliter dibatasi dengan perkara yang
menyangkut tindak pidana militer saja sebagaimana yang tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Militer.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer yang di dalamnya mengatur pula tentang Hukum Acara
Pidana Militer, disebutkan dalam Pasal 69 ayat (2) tentang Penyidik Pembantu
adalah Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Provos Tentara
Nasional Indonesia ANgkatan Laut, Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Udara, dan Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui
bahwa saat ini POLRI tidak lagi tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer,
selain itu di tiap-tiap angkatan sudah tidak ada lagi Provos Angkatan, karena
sudah berubah menjadi Polisi Militer Angkatan yaitu Polisi Militer Angkatan
Darat disingkat POMAD, Polisi Militer Angkatan Laut disingkat POMAL, Polisi
Militer Angkatan Udar disingkat POMAU yang kedudukannya sama dan sejajar.
Sehingga keberadaan pasal-pasal tersebut sudah sangat tidak relevan lagi dengan
kondisi organisasi militer sekarang yang telah berubah.
BAB
II
ORGANISASI
MILITER INDONESIA PADA MASA PEMBENTUKANNYA
A.
Militer Sebagai Fungsi
Penjaga Kedaulatan Negara
Di Negara maupun di dunia ini, militer merupakan organ
yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang
kedaulatan suatu Negara ada pada kekuatan militer yang dimilikinya. Ancaman
terhadap kedaulatan Negara tersebut secara umum bias dating dari luar maupun
dari dalam Negara itu sendiri, yang dating dari luar dapat berupa penyerangan (aggression), penyerbuan (invasion), atau aneksasi yang dilakukan
oleh Negara asing. Ancaman yang dating dari dalam dapat berupa pemberontakan
dengan maksud membentuk Negara baru terpisah dari kekuasaan yang ada,
menggulingkan atau menggantikan pemerintahan dengan pemerintahan yang baru
secara tidak syah.
Selain menjaga kedaulatan Negara, militer juga digunakan
untuk memperluas wilayah atau pengaruh suatu Negara dengan melakukan hal
terbaik dengan fungsi yang pertama sebagai penjaga kedaulatan Negara, sehingga
dengan demikian fungsi militer dapat dibagi menjadi dua yaitu defensive (bertahan) atau to take the offensive (menyerang).
B. Terbentuknya
Organisasi Militer Indonesia
Pada awal bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya
tanggal 17 Agustus 1945, Republik Indonesia belum memiliki organisasi militer,
sementara itu yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan saat itu adalah
rakyat yang secara serentak mengangkat senjata dan bergabung dalam
lascar-laskar perjuangan. Sebagian dari lascar-laskar tersebut adalah mereka
mantan anggota KNIL, PETA dan Heiho, yang
telah sadar atas tanggung jawabnya terhadap bumi pertiwi.
Pada tanggal 22 Agustus 1945 Pemerintah Republik Indonesia
mengumumkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat yang disingkat BKR sebagai wadah
dari seluruh lascar pejuang yang mempertahankan kemerdekaan. Selanjutnya pada
tanggal 5 oktober 1945 dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat yang disingkat TKR.
Tanggal 5 Oktober selanjutnya oleh pemerintah dijadikan sebagai hari lahirnya
Tentara Nasional Indonesia.
Perkembangan selanjutnya dari organisasi militer
Indonesia adalah dengan diselenggarakannya Konferensi Tentara Keamanan Rakyat
Ke-1 pada tanggal 12 November 1945 yang salah satu hasil terpentingnya adalah
memilih Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar. Dalam kepemimpinan Panglima
Besar Jenderal Sudirman nama Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 7 januari
1946 diganti menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Namun selanjutnya oleh pemerintah
berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 4/S.D tanggal 25 Januari 1946 nama Tentara
Keselamatan Rakyat diganti lagi menjadi Tentara Republik Indonesia disingkat
TRI.
Dianggap masih belum tepat dengan penggunaan istilh TRI
maka pada tanggal 7 Juni 1947 penyebutan organisasi militer Indonesia diganti
lagi dengan istilah yang baru yaitu Tentara Nasional Indonesia disingkat TNI.
Pada tahun 1959, penyebutan Angkatan Perang Republik Indonesia diubah lagi
menjadi Ankatan Bersenjata Republik Indonesia yang disingkat ABRI.
C. Konflik
Pasca Pembentukan Tentara Nasional Indonesia
Konflik bersenjata atau pemberontakan yang terjadi era
mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia tidak jarang menimbulkan
keadaan darurat, tidak saja terbatas pada gangguan terhadap ketertiban dan
keamanan umum saja melainkan sekaligus mengandung ancaman terhadap keamanan dan
kedaulatan Negara.
Sebut saja periode 1950-1959 pada peristiwa di Makasar,
yaitu pemberontakan oleh Andi Azi, peristiwa APRA, Republik Maluku Selatan,
peristiwa DI/TII, dan peristiwa terbesar yaitu peristiwa PRRI/Permesta di
Sumatra dan Sulawesi. Hukum khusus yang berlaku pada keadaan darurat, dalam hal
ini darurat perang adalah hukum militer. Didalam hukum militer ini mencakup
tentang peradilan militer.
BAB
III
SEJARAH
PERADILAN MILITER DI INDONESIA
A.
Gambaran Umum
Pada tahun 1946 Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No 7 Tahun 1946 tentang Peradilan Tentara. Inilah
yang menjadi awal berdirinya system peradilan militer di Indonesia.
Peradilan militer dilihat dari
perkembangannya, sudah mulai ada sejak jaman penjajahan Belanda yang pada saat
itu disebut Krijgsraad, Zee Krijgsraad dan
Hoog Militaire Gerechtstoop.
Setelah Indonesia merdeka dengan
landasan konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar 1945, peradilan umum dan
peradilan agama yang keberadaannya sudah ada sejak jaman colonial dinyatakan
langsung berlaku untuk mengisi kekosongan saat itu.
Khusus untuk peradilan militer,
Pemerintah tidak memberlakukan peradilan militer yang ada pada jaman colonial,
dengan alasan kebutuhan akan peradilan militer saat itu belum mendesak.
B.
Periode Peradilan
MIliter Belanda Di Indonesia
Untuk mendukung tegaknya hukum
dilingkungan militer Belanda, maka didirikanlah 3 bentuk pengadilan dengan
kompetensi berbeda, yaitu :
1. Krigsraad. Memiliki
kompetensi memeriksa dan mengadili untuk tingkat pertama terhadap personil
Angkatan Darat Belanda termasuk para anggota militer dalam Koninklijik Nederlandsch Indische Leger (KNIL).
2. Zee Krisgraad. Memiliki
kompetensi memeriksa dan mengadili untuk tingkat pertama terhadap personil
Angkatan Laut Belanda atau Koninklijke Marin.
3. Hoog Militaire
Gerechtshop. Merupakan pengadilan tingkat
pertama bagi personel militer yang berpangkat lebih tinggi dari Kapten,
sekaligus merupakan pengadilan tingkat kedua atau tingkat banding bagi personil
Angkatan Darat Belanda atau KNIL dan personil Angkatan Laut Belanda.
C.
Peradilan Militer Indonesia Pada Masa Perang Kemerdekaan
Melalui Undang-Undang No 7 Tahun
1946 tentang Adanya Pengadilan Ketentaraan Disamping Pengadilan Umum, sedangkan
untuk system beracara pada peradilan militer diatur melalui Undang-Undang Nomor
8 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Tentara.
1. Peradilan
Militer Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946
Dalam undang-undang ini
tidak hanya mengatur tentang pengadilan tentara saja tapi jiga pasal-pasal
didalamnya mengatur tentang kejaksaan tentara.
Pasal 1 pada
undang-undang ini mengatur bahwa dalam pengadilan tentara hanya terdiri dari 2
badan pengadilan, yaitu :
·
Mahkamah Tentara
·
Mahkamah Tentara Agung
Fungsi pengadilan tentara menurut pasal 2 adalah menyelesaikan perkara
pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yng dilakukan oleh:
a.
Prajurit Tentara
Republik Indonesia, Angkatan Laut Republik Indonesia, dan Angkatan Udara
Republik Indonesia.
b.
Orang yang oleh
Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan prajurit yang
dimakud pasa sub a.
c.
Orang yang tidak
termasuk golongan a atau b, tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan,
atas ketetapan Mentri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman, harus
diadili oleh Pengadilan Tentara.
Pengadilan
Tentara berdasarkan Pasal 4 berhak mengadili perkara-perkara kejahatan yang
dilakuan oleh siapapun juga jukalau kejahatan tersebut termasuk tite I atau
title II. Pada Pasal 5 diatur pula tentang tindak pidana koneksitas bahwa
kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh mereka yang dimaksudkan pada
Pasal 2 sub a dan b, bersama-sama dengan orang yang tidak termasuk golongan sub
a dan b itu, diadili oleh pengadilan biasa, kecuali jikalau ketetapan Menetri
Pertahanan dengan persetuuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diadili oleh
Pengadilan Tentara.
Mahkamah
Tentara Agung, berdasarkan Pasal 12 berwenang memutus dalam tingkat pertama dan
penghabisan terhadap perkara-perkara yang terdakwanya adalah :
a. Prajurut
yang serendah-rendahnya berpangkat Mayor.
b. Seorang
yang seandainya dituntut dihadapan pengadilan biasa, diputus oleh Mahkamah
Agung atau Pengadilan Tinggi.
Selain itu, dalam Pasal 13 Mahkamah Tentara
Agung merupakan pengadilan tingkat kedua atau pengadilan tingkat banding dan
penghabisan dalam perkara-perkara yang diadili oleh Mahkamah Tentara.
Dalam melaksanakn tugasnya,
pejabat-pejabat dari peradilan umum diberi hak untuk menggunakan perlengkapan
militer sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1946 yang
kemudian dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor S.4 Tahun 1948 sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 1 Agustus
1946, tentang “Peraturan tentang pemberian pangkat militer kepada Ketua, Wakil
Ketua, Anggota-anggota, Jaksa dan Panitera Pengadilan Militer” ditetapkan
sebagai berikut :
a. Ketua
Mahkamah Tentara Agung diberi pangkat Letnan Jendral.
b. Wakil
Ketua Mahkamah Tentara Agung diberi pangkat serendah-rendahnya Mayor Jendral.
c. Anggota
Mahkamah Tentara Agung yang juga menjadi anggota Mahkamah Agung diberi pangkat
srendah-rendahnya Kolonel.
d. Anggota
Mahkamah Tentara Agung ahli hukum yang dimaksudkan pada Pasal 8 ayat (2)
Undang-undang tentang Pengadilan Tentara diberi pangkat serendah-rendahnya
Kolonel.
e. Jaksa
Tentara Agung diberi pangkat serendah-rendahnya Mayor Jendral.
f. Jaksa
Tentara Tinggi tingkat I diberi pangkat serendah-rendahnya Kolonel.
g. Panitera
Mahkamah Tentara Agung diberi pangkat serendah-rendahnya Letnan Kolonel.
h. Ketua
Mahkamah Tentara diberi pangkat serendah-rendahnya Letnan Kolonel.
i.
Ketua Pengganti
Mahkamah Tentara diberi pangkat serendah-rendahnya Letnan Kolonel.
j.
Jaksa tentara diberi
pangkat serendah-rendahnya Mayor.
k. Jaksa
Tentara Pengganti diberi pangkat serendah-rendahnya Mayor.
l.
Panitera Mahkamah
tentra diberi pangkat serendah-rendahnya Kapten.
2. Peradilan
Militer berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948
Dalam situasi
darurat seperti saat Belanda dating kembali sambil membonceng sekutu, maka
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang
Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan
Ketentaraan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1948 tentang Perubahan
beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946.
Yuridiksi Peradilan ketentaraan lebih diperluas
meliputi kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:
a.
Seorang yang pada waktu
itu adalah orang Prajurut Tentara Nasional Indonesia.
b.
Seorang yang pada wakti
itu adalah orang yang oleh Presiden dengan peraturan Pemerintah ditetapkan sama
dengan prajurit yang dimaksud pada bagian a.
c.
Seorang yang pada waktu
itu adalah anggota suatu golongan atau jawaban yang dipersamakan atau dianggap
sebagai tntara oleh atau berdasarkan undang-undang.
d.
Seorang yang tidak
termasuk golongan a, b, dan c tetapi atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan
persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan ketentaraan.
Badan-badan
peradilan militer terdapat dalam Pasal 1 yang mengatur Kekuasaan Kehakiman,
dalam peradilan Ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan Tentara yang terdiri dari
:
a.
Mahkamah Tentara
b.
Mahkamah Tentara Tinggi
c.
Mahkamah tentara Agung
Dalam
Pasal 5 Kekuasaan Kejaksaan dalam peradilan ketentaraan dilakukan perubahan sehingga
menjadi :
a.
Kejaksaan Tentara
b.
Kejaksaan Tentara
Tinggi
c.
Kejaksaan Tentara Agung
Pasal
6 memberikan penekanan kepada Kejaksaan dalam peradilan ketentaraan untuk
melakukan kewajiban yang dikehendaki oleh undang-undang yakni menjalankan
pengusutan dan penuntutan atas kejahatan dan pelanggaran yang harus diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, dan mengusahakan
menjalankannya putusan-putusan pengadilan tersebut.
Dalam
Pasal 33 diberikan hak kepada Presiden untuk membentuk pengadilan tentara luar
biasa yang susunannaya menyimpang dari peraturandalam undang-undang ini.
Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 menetapkan tempat kedudukan Mahkamah-mahkamah
Tentara beserta daerah hukumnya ditetapkan oleh Menteri Kehakiman, dan
disamping tiap-tiap Mahkamah Tentara terdapat satu Kejaksaan Tentara yang
daerah hukumnya sama dengan Mahkamah Tentara.
Yustisiabel
atau orang-orang yang ditundukkan dalam masing-masing badan pengadilan di dalam
peradilan ketentaraan diatur dengan jelas dalam pasal-pasal sebagai berikut :
a.
Pasal 9 menentukan
bahwa Mahkamah Tentara memutuskan dalam tingkatan pertama perkara pelanggaran
dan kejahatan yang dilakukan prajurit berpangkat Kapten kebawah termasuk suatu
pasukan yang berada di dalam daerah hukumnya.
b.
Pasal 15vmenentukan
bahwa Mahkamah Tentara Tinggi memutuskan dalam tingkatan pertama
perkara-perkara yang salah satu terdakwanya adalah prajurut yang perpangkat
Mayor ke atas.
c.
Pasal 16 mahkamah
Tentara Tinggi memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat kedua segala
perkara-perkara yang telah diputuskan oleh Mahkamah Tentara dalam daerah
hukumnya yang diminta ulangan pemeriksaan.
d.
Pasal 29 menentukan
bahwa Mahkamah Tentara Agung memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat
keduasegala perkara yang telah diputuskan oleh Mahkamah Tentara Tinggi dalam
peradilan tingkat pertama yang dimintakan ulangan pemeriksaan.
e.
Pasal 30 menentukan
bahwa Mahkamah Tentara Agungpada tingkatan peradilan pertama da juga terahkir
memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang berhubung dengan
jabatannya dilakukan oleh :
1. Panglima
Besar.
2. Kepala
Staf Angkatan Perang.
3. Kepala
Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara.
4. Panglima
Tentara dan Teritorium Sumatera.
5. Komandan
Teritorium Jawa.
6. Komandan
Teritorium Sumatera.
7. Panglima
Kesatuan Reserve Umum.
8. Kepala
Staf Pertahanan Jawa Tengah.
9. Kepala
Staf Pertahanan Jawa Timur.
Pemberontakan yang
dilakukan oleh Muso dan Amir Syarifudin memang diadili di peradilan militer.
Tapi karena pemberontakan dilakukan bersama rakyat sipil, maka dalam proses
peradilan dirasa menyulitkan terutama dalam mencari paying hukum yang memiliki
sandaran kuat dan dapat secara tuntas menangani secara keseluruhan. Untuk
mengatasi hal itu, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
1948 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948.
Pasal 1 Peraturan
Pemeritah Nomor 74 Tahun 1948 menyebutkan bahwa antara Pasal 3 dan Paasal 4
diadakan pasal baru yaitu Pasal 3a yang mengatur tentang :
“Pengadilan
Tentara mengadili pula perkara-perkara kejahatan yang dilakukan oleh siapapun
juga jikalau kejahatan-kejahatan tersebut termasuk title 1 atau title 2 buku II
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau termasuk Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Tentara dan dilakukan dalam lingkungan yang dinyatakan berbahaya
berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Dasar.”
Selain menambah dengan
Pasal 3a, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1948 menghapuskan Pasal 15 ayat
(4), (5) dan (6) dan Pasal 23 ayat (2) serta merubah Pasal 30 ayat (1) dalam Pasal
3 menjadi Mahkamah Tentara agunng pada tingkatan peradilan pertama dan juga
terakhir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang
berhubungan dengan jabatan yang dilakukan oleh :
a. Panglima
Besar
b. Kepala
Staf Angkatan Perang
c. Kepala
Staf Angkatan Darat, LAut, Udara
d. Panglima
Tentara dan Territorium Jawa
e. Panglima
Tentara dan territorium Sumatera
f. Panglima
Divisi
D. Peradilan
Militer Indonesia Pada Masa Agresi Belanda Ke-II
Peraturan Darurat Tahun 1949 Nomor.
46/MBKD/49 tanggal 7 Mei 1949 mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. Tentang
Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
2. Tentang
Peradilan Sipil Pemerintahan Militer
3. Tentang
Mahkamah Luar Biasa
4. Tentang
Cara Menjalankan Hukuman Penjara
Susunan Pengadilan Militer Pemerintahan
Militer saat itu terdiri dari 3 badan, yaitu :
1.
Mahkamah Tentara Onderdistrik Militer atau MTODOM.
2.
Mahkamah Tentara Distrik Militer atau MTDM.
3.
Mahkamah Tentara daerah
Gubernur Militer atau MTGM.
E. Peradilan
Militer Indonesia Pada Masa Republik Indonesia Serikat
Peraturan yang masih berlaku terkait
dengan peradilan militer saat itu adalah :
1. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1949 Tanggal 25 Desember 1949
tentang Penghapusan Peraturan Darurat Nomor 46/MBKD/49 dan menghidupkan kembali
Pengadilan Tentara sebelum tanggal 7 Mei 1949.
2. Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan dan
Kejaksaan dan lingkungan ketentaraan.
Diwilayah RIS, selain ada TNI sebagai
organisasi militer yang dimiliki, terdapat juga militer asing yaitu anggota
militer kerajaan Belanda yang terdiri dari KL (Koninklijke Leger), KNIL (Koninklijke
Nederlandsch Indische Leger), ML (Militaire
Luchvaart) dan KM (Koninklijke Marine),
VB(Veileghed Bataljon). Tentara
Belanda ini memiliki peradilan militer sendiri, namun peradilan militer
tersebut dinyatakan tidak berwenang di dalam wilayah RIS, sehingga dasar hukum
peradilan militer Belanda saat itu termasuk :
a.
Verodening
CCO AMACAB (Chief Commanding Officer Allied Military Aministraction Cicil Affair
Branch) Nomor XX.
b.
Verodening
CCO AMACAB (Chief Commanding Officer Allied Military Aministraction Cicil Affair
Branch) Nomor XXV.
c.
Verodening
AMTB Nomor III.
d.
Provisionele Instructie Voor het Hoog Militaire
Gerechtshop va’ Nederlandsch Indie (Stbl.1945 Nomor 125).
F. Peradilan
Militer Indonesia Pada Masa Undang-Undang Dasar Sementara
Pada tanggal 12 dan tanggal 14 Agustus
1950 Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat
Republik Indonesia Serikat memberikan persetujuan atas dibentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara. Dalam
Pasal 142 Rancangan UNdang-Undang Dasar Sementara menyatakan bahwa :
“ Peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950,
tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa
Undang-Undang Dasar ini.”
Pada tanggal 13 Maret 1951 dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara
untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-Pengadilan Sipil, yang intinya adalah :
1. Penghapusan
pengadilan yang tidak sesuai lagi dengan suasana Negara kesatuan.
2. Penghapusan
secara berangsur-angsur pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
3. Selanjutnya
Pengadilan Agama dan Peradilan Desa.
4. Pembentukan
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di tempat-tempat tertentu.
Pada tahun 1950 sampai dengan
1956dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan
mengenai kedudukan dan daerah hukum Pengadilan-pengadilan Tentara sebagai
berikut :
1. Untuk
daerah Jawa dan Madura berdasarkan Keputusan Bersama Nomor 1 Tahun 1950 Tanggal
8 Mei 1950 jo Nomor 2 Tahun 1950 Jo
Nomor 3 Tahun 1950 tanggal 6 Januari 1956 ditunjuklah tempat
Pengadilan-pengadilan Tentara sebagai berikut :
a. Jakarta
meliputi wilayah hukum Kotapraja Jakarta Raya Keresidenan Jakarta, Banten,
Bogor, Kepulauan Riau (Tanjung Pinang).
b. Bandung
meliputi wilayah hukum Keresidenan Priangan dan Cirebon.
c. Pekalongan
meliputi wilayah hukum Keresidenan Pekalongan dan Banyumas.
d.Semarang
meliputi wilayah hukum Keresidenan Semarang dan Pati.
e. Yogyakarta
meliputi wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta dan Keresidenan Kedu.
f. Surakarta
meliputi wilayah hukum Keresidenan Surakarta dan Madiun.
g. Surabaya
meliputi wilayah hukum Keresidenan Surabaya, Bojonegoro, Kediri, Madiun.
h. Malang
meliputi wilayah Keresidenan Malang dan Besuki.
Sebagai
tempat kedudukan Pengadilan Tentara Tinggi, ialah :
a. Jakarta
meliputi wilayah hukum Pengadilan Tentara Jakarta, Bandung, Pekalongan,
semarang, Yogyakarta, Surakarta dan Palembang.
b. Surabaya
meliputi wilayah hukum Pengadilan Tentara Surabaya, Malang dan Kalimantan.
2. Untuk
daerah Sumatera telah dikeluarkan Keputusan Bersama Nomor 2 Tahun 1950 tanggal
18 September 1950 Jo Nomor 2 Tahun 1951 Tanggal 21 Mei 1950 Jo Nomor 4 Tahun
1953 tanggal 12 Oktober 1953 Jo Nomor 1 Tahun 1956 Tanggal 6 Juni 1956
ditunjukan tempat-tempat kedudukan Pengadilan-pengadilan Tentara sebagai
berikut :
a. Medan
meliputi wilayah hukum Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Riau
dikurangi Kabupaten Kepulauan Riau (Tanjung Pinang).
b. Padang
meliputi wilayah hukum Keresidenan Sumatera Barat, Kampar (Pekan Baru), dan
Riau.
c. Palembang
meliputi wilayah hukum Keresidenan Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan
Bangka Belitung.
Sebagai tempat kedudukan
Pengadilan Tentara Tinggi, ialah Medan meliputi wilayah hukum Pemgadilan
Tentara seluruh Kepulauan Sumatera, dikurangi daerah hukum Pengadilan Tentara
Palembang.
3. Untuk
daerah Kalimantan telah dikeluarkan Keputusan Bersama Nomor 5 Tahun 1950
Tanggal 18 September 1950 Jo Nomor 2 Tahun 1951 tanggal 31 Mei 1951 ditunjuklah
tempat kedudukan Pengadilan-pengadilan Tentara sebagai berikut :
a. Pontianak
meliputi wilayah hukum Keresidenan Kalimantan Barat dan kepulauannya.
b. Banjarmasin
meliputi wilayah hukum Keresidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur beserta
pulau-pulaunya.
4. Untuk
daerah bekas Negara Indonesia Timur telah dikeluarkan Keputusan Bersama Nomor 1
Tahun 1951 tanggal 3 Maret 1951 Jo Nomor 1 Tahun 1953 tanggal 6 Januari 1953
ditunjuklah tempat kedudukan Pengadilan-pengadilan Tentara adalah :
a. Makassar
meliputi seluruh wilayah hukum Sulawesi
b. Ambon
meliputi seluruh wilayah hukum Maluku.
c. Denpasar
meliputi seluruh wilayah hukum Kepulauan Nusa Tenggara.
G. Lahirnya
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958 Sebagai Hukum Acara Pidana Militer
yang Mencantumkan Kewenangan Komandan Dalam Proses Hukum Terhadap Anggotanya
Dengan menguatnya peran politik TNI saat itu dan dengan munculnya ahli hukum
dari kalangan militer, maka dengan alasan demi kepentingan organisasi
militerdengan tidak mengenyampingkan kepentingan penegakan hukum saat itu,
akhirnya dibentuk peradilan militer tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 29
Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara yang tercantum pada Pasal 35 :
1. Angkatan Perang
mempunyai peradilan tersendiri dan Komandan memiliki hak penyerahan perkara.
2. Susunan dan kekuasaan
badan-badan yang diserahi penyelenggaraan peradilan ketentaraan dalam arti
luas, hukum pidana tentara, materil dan formil, termasuk juga hukum disiplin
tentara, diatur dengan undang-undang.
Selain menyatakan bahwa Angkatan Perang mempunyai
peradilan tersendiri dan Komandan memiliki hak penyerahan perkara Sistem
beracara dalam lingkunga peradilan militer juga diubah dengan Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1958 tentang Acara Pidana Tentara Pada Pengadilan
Ketentaraan yang merubah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 yang menyatakan bahwa
Hukum Acara Pidana Tentara mempedomami Het
Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) dan menekankan bahwa tiap-tiap Perwira
wajib menjatuhkan penahan kepada bawahan yang ada dalam wilayah komandonya
apabila ia mengetahui atau dengan alasan yang cukup untuk menyngka, bahwa
seorang militer bawahannya itu telah melakuakan suatu tindak pidana berat,
selanjutnya Perwira tersebut segera melaporkan kepada Atasan yang berhak
menghukum, yakni para Komandan satuan yang membawahkan langsung tersangka,
sehingga komandan harus mengetahui segala persoalan dan proses hukum yang
terjadi terhadap anak buahnya, inilah yang menjadi awal dari munculnya istilah
ANKUM (Atasan yang berhak menghukum) dan PAPERA (Perwira Penyerah Perkara).
H. Peralihan
dari Hakim dan Jaksa Sipil ke Hakim dan Jaksa Militer
Setelah muncul tenaga-tenaga hukum
dari militer maka pada tahun 1961npara Jaksa dan Hakim duilingkungan pengadilan
tentara yang dirangkap oleh Jaksa dan Hakim dari Pengadilan Negeri diganti oleh
tenaga-tenaga ahli dibidang hukum dan tentara, yang didasarkan oleh Instruksi
Menteri Jaksa Agung No 157/MDJAG/1961/SI tanggal 11 April 1961. Selain itu,
berdasarkan Surat Keputusan Bersama KASAD dan Menteri Jaksa Agung No .
MK/KPTS-189/9/1961 tanggal 19 September 1961 Menteri Jaksa Agung mengalihkan wewenang, kekuasaan dan tanggung jawabnya
yang berhubungan dengan Kejaksaan Tentara kepada Oditurat Militer.
I. Masuknya
Polri Dalam Yuridiksi Peradilan Militer
Dengan masuknya Kepolisian dalam
organisasi Angkatan Bersenjata maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 PNPS
Tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara , Hukum Acara Pidanan
Tentara dan Hukum Disiplin Tentara bagi anggota-anggota Angkatan Kepolisian,
maka sejak saat itu Kepolisian menjadi yustisiabel
peradilan miter.
Sesuai dengan bergulirnya era
reformasi pada tahun 1988, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam ketetapannya No
X/MPR/1988 menginstruksikan kepada Presiden selaku mandetaris MPR untuk
melaksanakan agenda reformasi dibidang hukum dalam bentuk “pemisahan secara
tegas fungsi dan tugas aparatur penegak hukum, agar dapat dicapai
proporsionalitas , profesionalitas dan integritas yang utuh”, selanjutnya Presiden
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah
Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dari
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, maka Kepolisian Negara Republik
Indonesia keluar dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan tidak
lagi sebagai yustisiabel peradilan
militer melainkan menjadi yustisiabel peradilan
umum sama seperti warga sipil.
3. Peradilan
Militer Khusus
Dalam kondisi dimana Negara dalam keadaan
bahaya karena banyaknya pemberontakan yang terjadi, maka dalam bidang
peradilanperlu diadakan peraturan-peraturan khusus, bersifat sederhana dan praktis
agar peradlan mampu menjalankan fungsinya. Peraturan-perturan peradilan dalam
keadaan biasa sudah pasti tidak dapat berjalan, terutama ditempat yang terjadi
pertempuran atau di daerah lain yang terputus hubungan dengan pusat. Sehubungan
dengan itu, pada tahun 1946-1948 dalam lingkungan peradilan militer diadakan
peradilan-peradilan khusus, yaitu :
a. Mahkamah
Tentara Luar Biasa.
Dasar hukum
dibentuknya Mahkamah Tentara Luar Biasa adalah Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1947. Pertimbangan
diadakannya badan ini adalah untuk mempermudah melaksanakan peradilan di
beberapa daerah di Indonesia, berhubung pada waktu ituyang dalam keadaan
darurat.
b. Mahkamah
Tentara Sementara.
Dasar hukum
Mahkamah Tentara Sementara adalah Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1947 yang
bertujuan untuk menyesuaikan jalannya Pengadilan Tentara dengan keadaan perang,
yang memerlukan penyelesaian perkara secara lebih cepat.
c. Mahkamah
Tentara Daerah Terpencil.
Dasar hukum
dibentuknya badan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1947 yang
mengatur tentang ketentuan-ketentuan tentang dimungkinkannya pembentukan suatu
pengadilan tentara yang disebut Mahkamah Tentara Daerah Terpencil. Keberadaan
badan ini adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara secara lebih cepat di
daerah-daerah yang sama sekali terpencil dari daerah lainnya dan Pengadilan
Tentara yang dibentuk tidak mampu menjangkaunyya.
d. Mahkamah
Militer Luar Biasa.
Pada tahun 1963,
dengan pertimbangan bahwa masih terjadi perkara-perkara yang merupakan bahaya
besar bagi bangsa dan Negara yang sedang berevolusi membentuk masyarakat
sosialis Indonesia, hingga memerlukan penyelesaian segera, bahwa untuk itu
dibentuk suatu badan pradilan khusus yang dapat memriksa dan mengadili
perkara-perkara tersebut dengan cepat.
Peraturan
sebagaimana tercantum dalam Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1963 ini lebih
dititik beratkan kepada pengamanan usaha-usaha untuk mencapai tujuan revolusi
sehingga perlu mengambil kebijakan khusus dan darurat, bahkan perkara khusus
dimaksud harus ditentukan oleh presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 yang
menyatakan :
“Mahkamah
Militer Luar Biasa disingkat MAHMILUB, merupakan badan peradilan di lingkungan
Angkatan Perang yang diserahi tugas untuk memeriksa dan mengadili dalam tingkat
pertama dan terakhir perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden
Republik Indonesia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar