BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sesudah menjalani kehidupan sebagai bangsa yang merdeka selama
setengah abad lebih, sampailah bangsa kita pada masa-masa kritis yang cukup
mendasar. Kita tidak lagi sekadar menghadapi persoalan-persoalan yang berkadar kuantitatif
lagi, melainkan sudah bernilai kualitatif dalam membentuk hukum (peraturan
perundang-undangan), melaksanakan, dan menegakkannya.
Berdiri di atas tahun 2007, apalagi membandingkannya dengan keadaan
pada tahun 1945 dan lebih maju lagi pada permulaan abad keduapuluh, Indonesia
memang sudah berubah sangat besar dan perubahan itu berlangsung dengan cepat
dan semakin cepat. Hukum pun dibuat untuk mencapai perkembangan tersebut,
walaupun sangat tersengal-sengal. Sebagaimana kita sadari bersama bahwa hukum
berusaha mencapai perkembangan tersebut, namun ternyata masyarakatnya belum
siap untuk melaksanakan hukum yang dibuatnya itu. Padahal hukum harus ada dalam
masyarakat dengan tugas menjaga ketertiban, keamanan, dan memberikan keadilan.
Tentang keadaan tersebut, Satjipto Rahardjo pernah bertanya apakah
“hukum untuk masyarakat” atau “masyarakat untuk hukum”?. Memilih yang pertama
menimbulkan suasana yang dinamis, sedangkan yang kedua statis dan stagnant atau
macet. Kiranya cukup jelas bahwa kemacetan tersebut terjadi karena masyarakat
yang berubah itu dipaksa untuk dimasukkan ke dalam bagan-bagan hukum yang ada.
Kendati kita memilih yang pertama yakni “hukum untuk
masyarakat”, bagi suatu bangsa yang berubah dengan cepat, siasat tersebut tidak
sepenuhnya menjamin bahwa keadaan akan teratasi dengan baik. Sebab pertanyaan
yang kemudian bisa diajukan adalah “seberapa besar” perubahan dilakukan agar
hukum benar-benar dapat disiapkan untuk melayani masyarakatnya dengan baik?
Mochtar Kusumaatmadja, tampaknya juga bertanya dan pesimis terhadap
hukum di Indonesia, karena tanda-tanda mulai tumbuhnya pengakuan dari
pentingnya fungsi hukum pembangunan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat
menghindarkan kesan bahwa di tengah-tengah kesibukan tentang pembangunan ini
terdapat suatu kelesuan (melaise) atau kekurangpercayaan akan hukum dan gunanya
dalam masyarakat.
Harkristuti Harkrisnowo juga merasa pilu tentang hukum di Indonesia.
Harkristuti menyatakan bahwa di tengah suasana Indonesia yang masih mengalami
berbagai cobaan besar sejak masa fin du siecle (akhir millenium)
sampai kini, tidaklah mudah bagi saya untuk memaparkan kondisi hukum kita tanpa
kepiluan yang merebak mendengar dan ratapan mereka yang terluka oleh hukum, dan
kegeraman yang membahana pada mereka yang memanfaatkan hukum sebagai alat
mencapai tujuan tanpa memakai hari nurani.
Pembangunan hukum di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1970-an
dan sampai saat ini belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan komprehensif
terhadap kinerja model hukum sebagai “sarana pembaruan masyarakat”. Ketiadaan
evaluasi tersebut sudah dapat diantisipasi semula oleh Mochtar Kusumaatmadja
yang antara lain mengemukakan bahwa ukuran keberhasilan pembangunan hukum tidak
sama dengan pembangunan fisik karena pembangunan fisik jelas dapat dinilai
dalam bentuk angka-angka termasuk keberhasilan ataupun kegagalannya.
Romli lebih lanjut menyatakan bahwa proses legislasi dengan produk
perundang-undangan bukanlah proses yang steril dari kepentingan politik
karena ia merupakan proses politik. Bahkan implementasi perundang-undangan
tersebut dikenal dengan sebutan “penegakan hukum” atau “law enforcement”,
juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik.
Jika demikian halnya, maka hukum di Indonesia, termasuk
pembentukannya, tampaknya di luar hukum dalam bentuknya yang murni, yaitu tidak
sesuai dengan dunia ide seperti yang dikemukakan oleh Plato. Machfud MD sendiri
terkejut terhadap masyarakat yang heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu
dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat,
penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan
memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai
kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang
lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
dominan. Mereka bertanya: mengapa hal itu harus terjadi?.
Ternyata hukum tidak seteril dari subsistem kemasyarakatan lainnya.
Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum
sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum
dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan
lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh
politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis
sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang
berkarakter seperti apa. Upaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
di atas merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah politik hukum.
Politik hukum, kadangkala juga merambah di lingkungan dalam
pemerintah pada waktu rancangan peraturan tersebut dibahas antar departemen
terkait dengan masalah kepentingan sektor dan kepentingan lainnya. Apakah hal
ini termasuk dalam wilayah politik hukum? Kepentingan sektor inilah yang
kemudian mempengaruhi politik hukum yang memang sejak semula diharapkan politik
hukum dapat bermanfaat atau berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sekali lagi,
sterilisasi politik hukum dikotori oleh kepentingan sektor.
Sumber daya manusia, terutama legislator yang dinilai lemah dalam
merumuskan dan menuangkan keinginan politik hukumnya dan jumlah perancang
peraturan perundang-undangan yang masih minim, juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya kesenjangan antara kuantitas dan kualitas produk peraturan
perundang-undangan.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
deskripsi diatas maka penulis perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek
pembahasan dan batasan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut
:
1.
Bagaimana peran DPR dan
Pemerintah selaku pembentuk RUU dalam upaya pembentukkan Undang-undang di
Indonesia?
2.
Bagaimana perkembangan penyusunan
Program Legislasi Nasional saat ini?
3. Bagaimana keberadaan naskah akademis dan proses harmonisasi?
4. Bagaimana peran perancang peraturan perundang-undangan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran Pembentuk RUU
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah
program legislasi yang diajukan, setiap tahun terus bertambah, padahal oleh
Baleg dan Pemerintah telah ditetapkan sebanyak 284 RUU dalam Program Legislasi
Nasional 2005-2009. Ternyata, perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri. Pasal 17 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU P3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar
Program Legislasi Nasional (Prolegnas).” Ketentuan ini kemudian digunakan
oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk mengembangkan keinginannya mengatur sesuatu
dalam undang-undang di luar Prolegnas. Dari keinginan tersebut, ternyata
membawa dampak yang sangat luas terhadap pencapaian atau target yang semula
telah disepakati yang berakibat terbengkalainya Prolegnas itu sendiri.
Departemen Hukum dan HAM, yang mewakili Pemerintah dalam penyusunan
Prolegnas, selalu menghadapi persoalan karena tidak dapat melarang atau
membatasi prakarsa departemen/LPND dalam mengajukan usulan prolegnas baru,
apalagi jika program yang diusulkan tersebut benar-benar penting dan perlu
untuk melaksanakan penyelenggaraan negara dan kepemerintahan, misalnya,
penyelenggaraan pemilu dan parpol serta keinginan untuk mengubah pengaturan
mengenai Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung.
Posisi tawar terhadap pengajuan prolegnas baru merupakan salah satu
persoalan tersendiri karena ternyata DPR-RI, melalui Balegnya, juga mengajukan
usulan prolegnas baru di luar yang 284 RUU tersebut. Dengan demikian, makna
Prolegnas 2005-2009 sebagai acuan instrumen perencanaan yang terpadu dan
sistematis belum sepenuhnya mengikat. Jika Pasal 17 ayat (3) tersebut dibiarkan
berkembang dan tanpa kendali, maka yang terjadi adalah munculnya inflasi jumlah
RUU yang berakibat “lebih besar dari pasak”, terkait dengan kemampuan DPR-RI
dan Pemerintah untuk menyelesaikan program tersebut. Pemerintah pada dasarnya
menunggu diundang untuk membahas suatu RUU karena konsekuensi dari pergeseran
kekuasaan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan UU P3. Jadi,
kemampuan DPR-RI lebih dipertaruhkan untuk menyelesaikan RUU, dibandingkan
dengan Pemerintah.
Peran legislatif sebagai poros utama pembentukan undang-undang
sering kali terabaikan karena banyaknya pekerjaan di luar pembentukan RUU yang
harus diemban oleh anggota dewan, misalnya, pekerjaan-pekerjaan melakukan fit
and proper test untuk jabatan pemerintahan tertentu dan raker-raker lain
di luar pembentukan rancangan undang-undang.
B.
Perkembangan Program Legislasi
Nasional yang Belum Fokus
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa
prosedur penyusunan peraturan perundang-undangan, selain sebagian ditentukan
dalam UU P3, secara rinci juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tentang
Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan
Presiden Nomor 68 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP, dan
Rpresiden.
Dalam Perpres 61 ditentukan bahwa
penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dikoordinasikan oleh Badan Legislasi
sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh
Menteri (Menteri Hukum dan HAM). Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dan
Pemerintah dilakukan dengan memperhatikan konsepsi RUU yang meliputi:
- latar belakang dan tujuan penyusunan;
- sasaran yang akan diwujudkan;
- pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan
- jangkauan dan arah pengaturan.
Terkait dengan penyusunan Prolegnas
di lingkungan Pemerintah, Menteri meminta kepada menteri lain dan pimpinan LPND
mengenai perencanaan pembentukan RUU di lingkungan instansinya masing-masing
sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya. Penyampaian
perencanaan pembentukan RUU disertai dengan pokok materi yang akan diatur serta
keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal menteri
lain atau pimpinan LPND telah menyusun naskah akademis, maka naskah akademis
tersebut wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan RUU.
Setelah RUU disampaikan, Menteri
melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dengan
penyusun perencanaan (pemrakarsa) dan bersama-sama dengan menteri lain dan
pimpinan LPND yang terkait dengan substansi RUU. Upaya pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU diarahkan pada perwujudan keselarasan
konsepsi tersebut dengan:
- falsafah negara;
- tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya;
- UUD Negara RI Tahun 1945;
- undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya; dan
- kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dengan RUU tersebut.
Upaya pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi RUU dilaksanakan melalui forum konsultasi yang
dikoordinasikan oleh Menteri. Dalam hal konsepsi RUU terebut disertai dengan
naskah akademis, maka naskah akademis dijadikan bahan pembahasan dalam forum
konsultasi. Dalam forum konsultasi tersebut, dapat diundang para ahli dari
lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi,
atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Konsepsi RUU yang telah memperoleh
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi, oleh Menteri wajib
dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden sebagai Prolegnas yang
disusun di lingkungan Pemerintah sebelum dikoordinasikan dengan DPR-RI.
Dalam hal Presiden memandang perlu
untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut atas dan/atau memberikan arahan
terhadap konsepsi RUU, Presiden menugaskan Menteri untuk mengkoordinasikan
kembali konsepsi RUU dengan penyusun perencanaan dengan menteri lain atau
pimpinan LPND yang terkait. Hasil koordinasi tersebut oleh Menteri dilaporkan
kepada Presiden. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah, oleh
Menteri dikoordinasikan dengan DPR-RI melalui Badan Legislasi dalam rangka
sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.
Setelah melakukan koordinasi dengan
DPR-RI, Menteri mengkonsultasikan dahulu masing-masing konsepsi RUU yang
dihasilkan oleh DPR-RI kepada menteri lain atau pimpinan LPND sesuai dengan
lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya dengan masalah yang akan diatur
dalam RUU. Konsultasi tersebut dilaksanakan dalam rangka pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi RU, termasuk kesiapan dalam pembentukannya.
Pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tersebut
dilakukan dengan tetap memperhatikan keselarasan konsepsi di atas.
Hasil penyusunan Prolegnas di
lingkungan DPR-RI dan konsultasi dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi RUU, oleh Menteri dimintakan persetujuan terlebih
dahulu kepada Presiden sebelum dikoordinasikan kembali dengan DPR-RI.
Setelah dilakukan perencanaan
melalui Prolegnas, di lingkungan Pemerintah, telah diatur mengenai tata cara
mempersiapkan RUU yang telah ditentukan dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun
2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP, dan Rperpres (Perpres
68).
Dalam Perpres 68 ditentukan bahwa
penyusunan RUU dilakukan pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Penyusunan RUU yang
didasarkan pada Prolegnas tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari
Presiden. Pemrakarsa melaporkan penyiapan dan penyusunan RUU kepada Presiden
secara berkala.
Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa
dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan
permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai
konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:
- urgensi dan tujuan penyusunan;
- sasaran yang ingin diwujudkan;
- pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
- jangkauan serta arah pengaturan.
Keadaan tertentu di atas adalah:
- menetapkan Perpu menjadi UU;
- meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
- mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
- keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri.
Dengan adanya ketentuan di atas,
keinginan DPR-RI dan Pemerintah untuk mertatifikasi konvensi atau penjanjian
internasional setiap saat bisa dilakukan. Dalam proses pembahasan (baik
antardep maupun di DPR) lebih mudah dibandingkan dengan penyusunan RUU biasa
karena substansinya hanya 2 pasal dan rata-rata 3 x pertemuan sudah dapat
diselesaikan.
Dalam mempersiapkan RUU, sebagaimana
dilakukan selama ini, pengaturan dalam Perpres 68 ditentukan mengenai
pembentukan panitia antadepartemen dan pemrakarsa dapat mempersiapkan naskah
akademisnya terlebih dahulu. Dalam rapat antardepartemen, pemrakarsa dapat
mengundang pakar baik dari perguruan tinggi maupun pihak lainnya. Setelah RUU
selesai dibahas, pemrakarsa diberikan kesempatan untuk mengadakan sosialiasi
kepada masyarakat (sebagai asas keterbukaan) untuk mendapatkan masukan atas
substansi RUU.
Namun sayangnya, prosedur di atas,
dalam praktiknya belum sepenuhnya dijalankan sebagaimana mestinya, baik oleh
Pemerintah maupun oleh DPR-RI. Hal inilah yang mengakibatkan penyusunan RUU
tidak optimal. Jumlah yang 284 tersebut, jika ditelaah, ada beberapa yang hanya
sekadar dicantumkan judulnya (nama RUU) saja, padahal naskah akademiknya dan
substansi RUU sendiri belum dipersiapkan. Dengan demikian, alasan mengapa RUU
perlu disusun, sering tidak mampu dijawab oleh pemrakarsa, alias masih dalam
angan-angan. Dijumpai pula beberapa nama RUU yang tumpang tindih, misalnya,
RUU-RUU di bidang pemerintahan, yakni RUU tentang Pelayanan Publik, RUU tentang
Administrasi Pemerintahan, RUU tentang Etika Pemerintahan, RUU tentang
Perilaku Aparat Negara, RUU tentang Standar Pelayanan Publik, RUU tentang
Konflik Kepentingan Pejabat Publik, RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, RUU tentang Pemerintah Pusat,
RUU tentang Kepegawaian Daerah, RUU tentang Kepegawaian POLRI, RUU tentang
Kesekretariatan Negara, dll. RUU-RUU di bidang kesehatan, misalnya, RUU
tentang Karantina Kesehatan, RUU tentang Praktik Kefarmasian, RUU tentang
Praktik Perawat, RUU tentang Praktik Bidan, RUU tentang Pengawasan Obat dan
Makanan, RUU tentang Bahan Berbahaya, RUU tentang Kesehatan, RUU tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, dll.
Masalah nama-nama RUU di atas akan
membingungkan bagi pembentuk RUU terkait dengan ruang lingkup pengaturan dan
materi muatan yang akan diatur. Belum lagi bagi pembentuk RUU yang dihadapkan
pada nama-nama RUU yang belum jelas pengaturan dan ruang lingkupnya, misalnya,
RUU tentang Energi (aturan pelaksanaannya tersebar dalam undang-undang yang
mengatur Mineral dan Batubara, Migas, dan Ketegalistrikan), RUU tentang Etika
Kehidupan Berbangsa, RUU tentang Kode Etik Hakim, RUU tentang Kebijakan
Penghapusan Perkosaan dan Kekerasan Seksual, RUU tentang Kebijakan Penghapusan
Pelecehan Seksual di Tempat Kerja, RUU tentang Kebijakan Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga atau Pekerja di Sektor Informal, RUU tentang Anti Penyiksaan, RUU
tentang Demokrasi Ekonomi, RUU tentang Bentuk Kredit Peminjaman Bank dan
Hipotik Bagi Perempuan, RUU tentang Pengaturan Hak-hak Perempuan, RUU tentang
Kebudayaan, RUU tentang Kebumian, dan RUU tentang Anti Diskriminasi, Ras, dan
Etnik.
C. Keberadaan Naskah Akademis dan
Proses Harmonisasi
Naskah akademik (NA) adalah naskah
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi
latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan RUU (Pasal 1 Perpres Nomor 68 Tahun
2005). Perlu tidaknya NA dalam Perpres tersebut merupakan pilihan bagi
Pemerintah untuk menyediakan, sedangka bagi DPR-RI melalui Tata Tertibnya,
penyediaan NA diwajibkan dalam setiap penyusunan RUU. Secara tidak langsung,
kewajiban tersebut berimbas bagi Pemerintah untuk selalu menyediakan. Jika
Pemerintah tidak menyediakan, kemungkinan besar RUU yang diajukan tidak dapat
masuk dalam Prolegnas sebagai daftar prioritas.
Mengapa NA dianggap penting untuk dijadikan landasan penyusunan
suatu RUU? Sesuai dengan definisi di atas, setidak-tidaknya suatu RUU dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar
belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan.
NA dalam proses penyusunan suatu RUU merupakan potret atau peta
tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin dipecahkan melalui
undang-undang yang akan dibentuk dan disahkan. Makna yang sering dikemukakan
oleh pembentuk undang-undang bahwa dalam pertimbangan RUU selalu dicantumkan
segi filosofis, sosiologis, dan yuridis, mengingatkan kepada kita semua betapa
segi tersebut penting karena terkait dengan konstatasi fakta yang ada dan
bagaimana fakta tersebut dapat dipecahkan melalui cara-cara yang filosofis dan
yuridis.
Dengan NA, fakta yang dianggap bermasalah dipecahkan secara bersama
oleh Pemerintah dan DPR-RI, tanpa mementingkan golongan atau kepentingan
individu. Jika NA selalu mendasarkan pada urgensi dan tujuan penyusunan,
sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan
diatur, serta jangkauan serta arah pengaturan yang memang dikehendaki oleh
masyarakat, maka proses bottom up yang selama ini diinginkan oleh
masyarakat, akan terwujud. Jika suatu RUU yang dihasilkan melalui proses bottom
up, diharapkan undang-undang yang dihasilkan akan berlaku sesuai dengan
kehendak rakyat dan berlakunya langgeng.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Pemerintah sering kali tidak
dapat menolak departemen/LPND untuk menyusun RUU yang kemudian dimintakan untuk
diharmonisasi di Departemen Hukum dan HAM, walaupun RUU yang diajukan tersebut
tidak termasuk dalam Prolegnas. Sebaliknya, beberapa RUU yang telah masuk dalam
Prolegnas, pemrakarsa sering mengalami kesulitan untuk membentuknya karena
belum dipersiapkannya NA dan alasan-alasan lainnya. Belum lagi terhadap RUU-RUU
yang tidak jelas ruang lingkup pengaturan dan materi muatan yang diaturnya
sebagaimana diuraikan di atas.
Kesulitan lain yang dihadapi oleh Departemen Hukum dan HAM adalah
masih adanya egoisme sektoral dari instansi pemrakarsa terkait dengan
pengaturan kewenangan yang dimilikinya. Yang lebih sulit lagi adalah apabila
RUU tersebut merupakan inisiatif DPR yang di dalamnya mengatur banyak
kepentingan yang tumpang tindih dengan kewenangan lainnya. Dengan demikian,
harmonisasi dilakukan pada saat pembahasan yang sebelumnya dipersiapkan dalam
daftar inventarisasi masalah (DIM).
Dari pengalaman di atas, untuk tidak menimbulkan polemik dalam
tingkat pembahasan, proses harmonisasi seharusnya dilakukan sejak NA dibuat
sampai di tingkat penyusunan peraturan, baik dilakukan oleh Pemerintah maupun
oleh DPR-RI. Sering didengar bahwa sewaktu DPR-RI membahas RUU dengan
Pemerintah, muncul RUU tandingan yang berasal dari luar dengan mengatasnamakan
kepentingan tertentu. Hal-hal inilah yang kemudian mempengaruhi kualitas
substansi RUU dilihat dari prospek, ekspektasi, dan harapan politik hukum,
terutama pembangunan hukum nasional.
D.
Peran Perancang Peraturan
Perundang-Undangan
Dalam Penjelasan UU P3 disebutkan
bahwa Untuk menunjang pembentukan peraturan perundang-undangan, diperlukan
peran tenaga perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional
yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan
rancangan peraturan perundang-undanganan. Makna ”berkualitas” sebagaimana
ditentukan dalam penjelasan tersebut tampaknya akan mengalami hambatan dan
tantangan tersendiri dalam bidang kepemerintahan karena masih berbenah di
sana-sini mengingat jabatan tersebut relatif anyar atau baru dibanding jabatan
fungsional lainnya seperti jabatan peneliti atau jaksa penuntut umum. Mencari
format mengenai kompetensi dan sertifikasi jabatan fungsional perancang serta
kurikulum dalam diklat perancang, diperlukan kerja keras dan ketekunan yang
luar biasa. Hal ini masih dalam proses penyelesaian di lingkungan Departemen
Hukum dan HAM.
Perancang adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung
jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melakukan kegiatan menyusun peraturan perundang-undangan dan/atau instrumen
hukum lainnya pada instansi pemerintah. Kedudukan jabatan fungsional termasuk
dalam rumpun hukum dan peradilan dan tugas perancang adalah menyiapkan,
melakukan, dan menyelesaikan seluruh kegiatan teknis fungsional perancangan
peraturan perundang-undangan di lingkungan unit peraturan perundang undangan
instansi pemerintah. Tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak serta kedudukan
perancang telah mempunyai dasar hukum yang kuat berdasarkan peraturan
perundang-undangan, yakni:
1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999;
2)
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai
Negeri Sipil;
3)
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentang Rangkap Jabatan;
4)
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional
Pegawai Negeri Sipil;
5)
Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Fungsional Perancang;
6)
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
41/Kep/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan
Perundang-undangan
7)
Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor. M.390-kp.04.12 Tahun 2002 dan Nomor 01 Tahun 2002
tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan
Perundang-undangan dan Angka Kreditnya
8)
Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia no.04.pr.07.10 tahun 2004
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan HAM.
Dengan adanya peraturan perundang-undangan di atas, pada dasarnya
tidak perlu diragukan lagi bahwa eksistensi perancang (atau calon perancang) di
tanah air telah dipayungi oleh hukum dalam menjalankan tugas, fungsi, hak, dan
tanggung jawabnya. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM, tinggal
meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta menghitung kebutuhan perancang pada
seluruh instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah, termasuk
di lingkungan DPR-RI atau DPRD.
Permasalahan klasik yang selama ini dihadapi dalam penyediaan
perancang adalah kurangnya kualitas dan kuantitas perancang di beberapa
instansi pemerintah karena salah satu masalah yang belum seluruhnya dipecahkan
adalah ketersediaan kurikulum di fakultas hukum baik pada universitas negeri
maupun swasta mengenai mata pelajaran wajib tentang perancangan peraturan
perundang-undangan, sehingga lulusan sarjana hukum kurang memahami mengenai
perancangan peraturan perundang-undangan. Bidang yang satu ini juga sering
menjadi pertanyaan bagi dekan fakultas hukum, apakah termasuk pada bidang hukum
tata negara atau hukum administrasi negara atau hukum tata pemerintahan atau
bidang tersendiri? Departemen Pendidikan Nasional harus sudah menentukan bahwa
bidang perancangan peraturan perundang-undangan merupakan kurikulum wajib
(bukan pilihan) dan ditetapkan jumlah SKS-nya sesuai dengan kebutuhan,
misalnya, diperlukan jam mata kuliah pelatihan perancangan peraturan
perundang-undangan.
Di samping masalah di atas, mutasi ke jabatan struktural atau
jabatan lainnya yang menjanjikan, membuat pejabat fungsional perancang beralih
atau berpindah ke jabatan struktural. Budaya terstruktur untuk berkuasa
tampaknya masih kental di lingkungan pegawai negeri sehingga pilihan tertuju
pada jabatan struktural, dan malah pada jabatan struktural tertentu
diperebutkan.
Insentif atau penghargaan bagi pejabat fungsional perancang perlu
segera diwujudkan, termasuk tunjangan fungsional yang memadai dan masa jabatan
usia pensiun bagi perancang. Tanpa hal ini, jangan diharap kualitas dan
kuantitas pejabat fungsional perancang akan meningkat.
Kualitas perancang akan diuji dengan ketentuan Pasal 4 (1) Perda
Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran yang menentukan
bahwa “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga
menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di
jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel,
asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat
tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau di tempat lain
di daerah.” Betapa ketentuan di atas sangat subjektif untuk setiap orang yang
dianggap oleh penegak hukum sebagai pelacur. Pembentuk Perda mungkin belum
menyadari bahwa ketentuan tersebut dapat disalahgunakan oleh penegak hukum
karena subjektivitasnya yang mencolok. Bagaimana penegak hukum dengan mudah
menangkap orang jika orang tersebut sikap atau perilakunya mencurigakan dilihat
dari anggapan penegak hukum. Belum lagi locus delicti- nya yang begitu
luas, yakni rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan,
warung kopi, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong
jalan atau di tempat lain di daerah. Seharusnya tempat yang dituju hanya tempat
yang memang sering digunakan, misalnya, warung remang-remang yang sering
dijadikan praktik prostitusi atau tempat hiburan tertentu untuk para hidung
belang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yang penting untuk dipahami oleh
pembentuk peraturan perundang-undangan adalah mengenai materi muatan peraturan.
Materi muatan terkait erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan
terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan
delegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma
peraturan harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugas
masing-masing yang berasal dari delegasian dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya dan tetap pula memperhatikan peraturan
perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi tingkatannya atau sederajat.
Pengetahuan mengenai bentuk dan
jenis peraturan perundang-undangan sangat penting dalam perancangan peraturan
perundang-undangan karena :
- setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dapat ditunjukkan secara jelas peraturan perundang-undangan tertentu yang menjadi landasan atau dasarnya (landasan yuridis);
- tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan, melainkan hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi yang dapat mendelegasikan ke peraturan perundang-undangan sederajat atau lebih rendah. Jadi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak dapat dijadikan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjukkan betapa pentingnya aturan mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan (lihat UU Nomor 10 Tahun 2004);
- pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih rendah. Prinsip ini mengandung beberapa hal :
1) pencabutan peraturan
perundang-undangan yang ada hanya mungkin dilakukan oleh peraturan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi;
2) dalam hal peraturan
perundang-undangan yang sederajat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-undangan
yang terbaru dan peraturan perundang-undangan yang lama dianggap telah
dikesampingkan (lex posterior derogat priori);
3) dalam hal peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya;
- dalam hal peraturan perundang-undangan sederajat yang mengatur bidang-bidang khusus, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang umum yang berkaitan dengan bidang khusus tersebut dikesampingkan (lex specialis derogat lex generalis).
- pentingnya pengetahuan mengenai bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan kaitannya dengan materi muatan peraturan perundang-undangan. Materi muatan undang-undang adalah berbeda dengan materi muatan peraturan presiden. Materi muatan biasanya tergantung dari delegasian atau atribusian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Undang-undang dan Perda bermateri muatan salah satunya adalah pengaturan hak asasi manusia dan pengaturan sanksi yang memberatkan atau membebani rakyat.
Yang lebih penting adalah bahwa
pembentuk peraturan harus memahami makna asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi :
a) kejelasan tujuan (setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai);
b) kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat (setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang);
c) kesesuaian antara jenis dan materi
muatan (dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya);
d) dapat dilaksanakan (setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis, maupun sosiologis);
e) kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara);
f) kejelasan rumusan (setiap
peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi,
serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya); dan
g) keterbukaan (dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan).
Asas-asas tersebut merupakan dasar
berpijak bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan.
Semua asas di atas, harus terpateri dalam diri mereka yang akan membentuk
peraturan perundang-undangan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pertanyaan
dalam setiap langkah yang ditempuh. Misalnya, apakah pentingnya membentuk
peraturan ini? Tujuannya apa? Apakah bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat?
Tidakkah instrumen lain, selain peraturan, sudah cukup? Dalam menyusun
substansi yang diinginkan oleh penentu kebijakan, pembentuk peraturan harus
selalu bertanya, apakah rumusan tersebut sudah jelas dan tidak menimbulkan
penafsiran?
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, Moral dan
Etika Pembangunan Hukum Nasional: Reorientasi Politik Perundang-undangan, Makalah
disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Bali, 14-18 Juli
2003
Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep
Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2002
M.D.,
Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar