BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata “Epistemologi Hukum” ini
barangkali sudah jarang didengar atau terkesan “aneh”. Di samping itu,
barangkali epistemologi sudah dianggap selesai, berakhir, “mati” dan digantikan
oleh filsafat ilmu. Dengan demikian epistemologi hukum pun bisa dianggap
sebagai sudah mati juga dan muncul filsafat ilmu hukum. Meskipun epistemologi
tetap penting sebagai sesuatu yang pernah muncul dalam sejarah filsafat atau
menjadi bagian dari ilmu filsafat sepanjang sejarah sampai sekurang-kurangnya
abad XX. Mempelajarinya secara serius adalah kegiatan mengetahui tentang arti
pentingnya epistemologi ini sebelum dinyatakan “sungguh-sungguh mati”.
Apa yang mau dibicarakan dalam
epistemologi hukum ini? Ini adalah bagian dari kajian Filsafat Hukum menurut
Gijssels dan Mark van Hoecke, yaitu membicarakan tentang sejauh mana
pengetahuan tentang hakikat hukum dan hal-hal fundamental lainnya menjadi
mungkin. Dengan kata lain, berdasarkan istilah epistemologi sendiri, yang
hendak dikaji adalah apakah pengetahuan hukum itu, apakah arti mengetahui, dan
dimana pengetahuan itu ditemukan, akal budi ataukah pengalaman inderawi, serta
apakah pengetahuan kita tentang hukum dapat dipertanggungawabkan?
Epistemologi hukum adalah filsafat
pengetahuan hukum (yang tentunya berbeda dengan ilmu hukum), yaitu refleksi
kritis tentang pengetahuan hukum dan apa yang kita ketahui di bidang filsafat
hukum. Epistemologi hukum itu tentu saja berdasarkan pada epistemologi atau
filsafat pengetahuan. Karena itu, sebelum lebih jauh mengetahui epistemologi
hukum, pemahaman dasar tentang epistemologi sendiri menjadi mutlak diperlukan.
Dengan belajar tentang epistemologi kita akan terbantu untuk dapat mengetahui,
apakah pengetahuan kita sendiri tentang hukum adalah pengetahuan yang
sungguh-sungguh kita ketahui. Yang mau dikemukakan disini adalah epistemologi
ketika masih hidup.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas
penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah
pengertian epistemologi?
2. Apakah
jenis-jenis epistemologi?
3. Apakah
aliran-aliran epistemologi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat
yang sudah tua usianya. Menurut sejarah filsafat, epistemologi ini sudah muncul
sebelum Sokrates. Kata “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran
(akal budi) dan ilmu. Sementara itu, kata episteme
sendiri berasal dari kata epistamai
yang artinya mendudukkan, menempatkan atau meletakkan. Maka kata episteme dapat diartikan “pengetahuan
sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya
(J. Sudarminta, 2002: 18). Berdasarkan etimologi kata epistemologi tersebut,
dapat dikatakan bahwa epistemologi adalah ilmu tentang pengetahuan manusia atau
sering disebut juga sebagai teori pengetahuan. J. Sudarminta mengatakan bahwa
sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mangkaji dan mencoba
menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Pertanyaannya
adalah bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji
kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk
mengetahui?
Dapat juga dikatakan menurut P.
Hardono Hadi (1994: 6), bahwa epistemologi membahas masalah-masalah dasar dalam
pengetahuan, misalnya apa itu pengetahuan, dimanakah pengetahuan umumnya
ditemukan, dan sejauh manakah apa yang biasanya kita anggap sebagai pengetahuan
benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah indera dan budi dapat memberi
pengetahuan, serta apakah hubungan antara pengetahuan dan keyakinan yang benar?
Pertanyaan-pertanyaan epistemologis ini dapat kita ajukan juga terhadap
pengetahuan kita tentang hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu hendaknya tidak
dianggap sebagai aneh.
Tujuan yang mau dicapai oleh
epistemologis adalah bukan hanya apakah saya atau kita dapat mengetahui,
melainkan juga untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan kita dapat tahu
dan jangkauan batas-batas pengetahuan kita. P. Hardono Hadi misalnya,
mengatakan bahwa pentingnya mempelajari epistemologi sebagai filsafat ini
adalah agar orang, terutama juga di bidang hukum menjadi “bijaksana”.
Menurutnya, dengan memahami permasalahan epistemologis, orang diharapkan mampu
bersikap tepat di dalam menanggapi berbagai pembicaraan (disini tentang hukum)
tanpa terjerumus di dalam prasangka sempit dan semangat primordialisme yang
kaku. Epistemologi hukum cukup membantu kita untuk bersikap terbuka dan
bertanggung jawab terhadap apa yang diketahui tentang hukum.
B.
Jenis-jenis Epistemologi
Berdasarkan cara kerja dan
pendekatannya, epistemologi dibagi menjadi epistemologi metafisis dan
epistemologi skepsis.
1. Epistemologi
metafisis
Epistemologi
ini melakukan pendekatan terhadap gejala pengetahuan bertitik tolak dari
pengandaian metafisis tertentu, berangkat dari kenyataan dan membahas bagaimana
manusia mengetahui kenyataan itu. Contohnya adalah epistemologi Plato. Menurut
Plato, kenyataan adalah ide-ide. Idealisme Plato ini membuat semua yang
dinamakan kenyataan sebetulnya hanya bersifat semu, karena kenyataan
sesungguhnya hanya ada dalam dunia ide. Di samping itu, dala epistemologi ada
pengandaian bahwa semua orang tahu tentang kenyataan, dialami dan dipikirkan,
sibuk dengan pengetahuan seperti itu dan cara perolehannya. Hal ini dikritik
sebagai kurang memadai dan kontroversial. Pertanyaan kita sekarang adalah
bagaimanakah dengan hukum: kenyataan yang diketahui sebagai ide-ide? Di sini
penulis mengusulkan agar kita coba kembali melihat sejarah pemikiran mengenai
hukum. Bagaimana orang bisa sampai tahu adanya hukum? Dia diciptakan oleh
pikiran karena kenyataan ataukah karena “memang ada hukum yang diketahui?” dan
diberi komentar atau penafsiran? Dari
buku klasik Dennis Lloyd The Idea of Law
(1977) dapat dikatakan bahwa ide hukum itu muncul karena pembacaan terhadap
kenyataan sebagai suatu keharusan “normatif”.
2. Epistemologi
Skepsis
Boleh
disebut peletak dasar epistemologi ini adalah Rene Descartes (1596-1650).
Sebagaimana diketahui, filsuf besar ini adalah orang yang ragu-ragu, atau
memiliki kesangsian metodis. Segala sesuatu itu diragukan. Yang ia tidak
ragukan ialah dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Dengan kata lain, yang
tidak diragukannya ialah keragu-raguan itu sendiri. Berdasarkan filsafatnya
dapat dikatakan bahwa kita harus membuktikan apa yang kita ketahui sebagai
sungguh-sungguh nyata atau benar-benar tidak dapat diragukan lagi dengan menganggap
sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat
diragukan. Dengan kata lain, kita pun harus dapat membuktikan, apakah kita
sungguh-sungguh dapat mengetahui sesuatu?
Repotnya,
kalau ini dikaitkan secara sewenang-wenang alias ngawur terhadap hukum, maka kita dapat saja meragukan, pertama, apakah hukum itu
sungguh-sungguh nyata dan tidak diragukan lagi adanya? Kita harus mampu
membuktikannya. Atau kita boleh saja meragukan hukum itu. Jangan-jangan hukum
itu sesuatu yang keliru karena masih dapat diragukan kebenarannya. Yang gampang
ialah, saya dan anda dapat meragukan apakah positivisme itu benar dalam
memandang hukum sebagai kenyataan inderawi model ilmu alam? Kedua, ada keraguan bahwa manusia dapat
mengetahui segala sesuatu. Dengan kata lain jangan-jangan manusia itu
sebetulnya tidak tahu apapun. Ini tentu seja melawan “akal sehat umum”, bahwa
manusia mengetahui segala sesuatu. Keragu-raguan ekstrim atau ketika orang terlalu
skeptis terhadap segala sesuatu dan konsisten dengan itu, maka ia akan terus
hidup dalam keragu-raguan dan karenanya sulit mengambil keputusan untuk
melakukan sesuatu.
Keraguan
ilmiah dan juga moril itu benar, sejauh dipakai untuk menguji ilmu pengetahuan
atau tingkah laku, apakah benar ataukah salah. Dengan kata lain, keraguan
tersebut demi kepastian kebenaran dan kebaikan atau keutamaan perilaku. Seorang
jaksa yang profesional misalnya boleh saja meragukan, apakah pasal-pasal kitab
hukum pidana yang dipakainya untuk menjerat si terdakwa itu sudah benar, sesuai
dengan peristiwa hukum (tindak pidana) itu ataukah tidak. Yang dipelukan disini
sebetulnya adalah epistemologi kritis, yaitu berangkat dari asumsi, prosedur
dan kesimpulan pemikiran akal sehat atau asumsi, prosedur dan kesimpulan
pemikiran ilmiah lalu ditanggapi secara kritis atau menguji kebenarannya.
Epistemologi kritis ini dapat dipakai di dunia hukum.
Kemudian berdasarkan objek yang
dikaji, epistemologi dapat dibagi menjadi epistemologi individual dan
epistemologi sosial.
1. Epistemologi
individual
Epistemologi
ini berurusan dengan subjek yang mengetahui dan yang diketahui, lepas dari
konteks sosial. J. Sudarminta mengemukakan bahwa epistemologi individual adalah
epistemologi sejak pra-sokrates sampai sekarang. Kajian tentang pengetahuan,
baik tentang status kognitifnya maupun proses perolehannya, dianggap sebagai
dapat didasarkan atas kegiatan mausia individual sebagai subjek yang mengetahui
lepas dari konteks sosialnya. Struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja
dalam proses mengetahui dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana
semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Secara lain dapat dikatakan
bahwa bagi epistemologi ini tidak penting bagaimana konteks sosial budaya dan
juga “nilai-nilai” yang ada dalam masyarakat itu bekerja. Yang penting adalah
bahwa manusia dapat mengetahui hanya dengan modal struktur pikiran dan cara
mengetahuinya sendiri yang terdapat dalam otaknya saja. Pengetahuan manusia
tentang hukum itu diperoleh karena kegiatan berpikir saja (a priori) dan
dianggap sudah mewakili apa yang memang diketahui manusia tentang hukum melalui
pikiran. Apa dan bagaimana konteks sosialnya tidak begitu penting untuk
dipertimbangkan.
2. Epistemologi
Sosial
Epistemologi
ini berurusan dengan kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data
sosiologis, yaitu terkait dengan hubungan sosial, kepentingan sosial dan
lembaga-lembaga sosial. Semuanya ini adalah faktor yang menentukan dalam proses
dan cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi ini barangkali cocok untuk ilmu,
termasuk ilmu hukum. Orang dapat tahu tentang hukum juga karena ada bersama
dalam keserbaterhubungan etis dengan segala sesuatu yang lain, termasuk sesama
manusia dalam suatu komunitas masyarakat. Kenyataan sosial memproyeksikan
dirinya sendiri kepada subjek-subjek yang sadar, yang kemudian menangkap itu
dalam akal sehatnta dan kemudian ia menjadi tahu tentang maksud kenyataan yang
“berbicara” kepadanya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tahu tentang “hukum”
yang hidup dan berkembang dalam hubungan antarmanusia, kepentingan-kepentingan
dan lembaga-lembaga.
C.
Aliran-aliran Epistemologi
Berikut ini adalah pokok-pokok
aliran dalam epistemologi.
1. Skeptisime
Skeptisisme
telah dimulai sejak zaman Yunani Kuno (315 SM), misalnya pada pandangan Zeno
dari Elea. Dia meragukan adanya gerak. Menurut dia, gerak itu sebenarnya tidak
ada, karena sesuatu tetap berada dalam substansinya. Hanya kelihatan saja bahwa
sesuatu itu bergerak, namun sesungguhnya tetap “diam” dalam substansinya. Ini
dianggap sebagai suatu sikap skeptis terhadap ada atau tidak gerak itu.
Skeptisisme
berasal dari kata dalam bahasa Yunani “skeptomai”
yang berarti “saya pikirkan dengan
seksama” atau “saya lihat dengan
teliti”. Kemudian kata ini populer diartikan sebagai “saya meragukan”. Intinya, dalam skeptisisme ini orang selalu
mempertanyakan, meragukan, termasuk meragukan, apakah manusia sungguh-sungguh
mengetahui dan apakah pengetahuan itu benar. Keraguan yang berlebih-lebihan
dapat saja membuat orang menjadi kehilangan pegangan, sebab segala-galanya
diragukan, hidupnya penuh dengan keragu-raguan.
Namun
keraguan itu juga perlu dalam konteks pengetahuan dan untuk bersikap kritis dan
menguji kebenaran, seperti halnya yang mau dilakukan oleh filsafat. Yang paling
terkenal dengan keragu-raguan metodis adalah Descartes sebagaimana sudah
disebutkan di depan. Dari filsafatnya, dapat dikatakan bahwa orang tidak boleh
menerima begitu saja segala sesuatu, alias perlu ada keraguan dan karenanya
segala sesuatu harus diuji kebenarannya. Demikian pula filsafat. Filsafat pun
tidak boleh bertolak dari pengandaian yang tidak diperiksa terlebih dahulu.
Pertanyaannya ialah, apakah skeptisisme
ini juga diperlukan dalam hukum, khusunya dalam proses berperkara?
Bagaimana pula skeptisisme dalam ilmu hukum?
2. Subjektivisme
Menurut
pandangan ini, satu-satunya hal yang dapat kita ketahui secara pasti adalah
diri kita sendiri dan kegiatan sadar kita. Itulah yang secara langsung dapat
kita ketahui. Di luar aku, “yang bukan aku” diragukan kepastian kebenarannya
(pengetahuan tidak langsung). Subjektivisme ini mengutamakan subjek yang
mengetahui daripada yang diketahui. Barangkali saya lebih penting daripada apa
yang saya ketahui. Tentang suatu objek misalnya, yang penting adalah gagasan
saya tentang objek itu, bukan objek itu sendiri. Berkaitan dengan hukum, maka
subjek yang mengetahui hukum lebih penting daripada hukum yang diketahuinya.
Masalah yang timbul disini ialah, kalau yang jelas kita ketahui adalah gagasan
kita tentang objek, maka bagaimana kita bisa tahu pasti bahwa gagasan itu
memang sesuai dengan objeknya sendiri, dan bukan ilusi kita sendiri tentang
objek itu?
Subjektivisme
lalu identi dengan rasionalisme yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan
adalah rasio atau akal budi manusia sendiri. Misalnya saya menjadi tahu tentang
hukum karena akal budi saya. Namun rasionalisme ini dikritik oleh objektivisme,
yang terdiri dari positivisme yang menekankan kepada pengalaman objektif dan
empirisme yang menekankan selain pengalaman objektif juga pengalaman subjektif
dan batiniah. Disini orang menjadi tahu tentang hukum karena kenyataan atau
pengalaman yang menurut positivisme hanya berdasarkan pada pengalaman yang
objektif, bukan subjektif. Pertanyaannya, apakah
pengetahuan hukum itu sebaiknya positivisme atau empirisme, ataukah bukan
kedua-duanya, ataukah campuran antara subjektivisme dan objektivisme atau bukan
semuanya itu?
3. Relativisme
Relativisme
ini muncul karena skeptisisme dan subjektivisme tidak dapat diterima. Menurut
relativisme, manusia dapat mengetahui kebenaran objektif dan bersifat relatif.
Relatif terhadap subjek yang bersangkutan, masyarakat dan budaya tertentu,
terhadap paradigma tertentu dan jalan hidup yang dianuti. Disini ada
relativisme subjektif. Misalnya benar bagi A belum tentu benar bagi B. Ada juga
relativisme kultural, yaitu bahwa pengetahuan bersifat lokal, sesuai dengan
budaya dan kesepakatan. Ini barangkali cocok untuk bidang pengetahuan hukum dan
ilmu hukum. Selanjutnya ada pula relativisme konseptual yang mengatakan bahwa
tentang benar dan salah itu tidak ada ukuran objektif universal, melainkan
relatif: tergantung pada kerangka konseptual masyarakat dan kebudayaan.
Misalnya soal bahasa.
Masih
banyak hal yang berkaitan dengan epistemologi yang tidak mungkin dipaparkan
semuanya disini, melainkan dapat dipelajari dan dikembangkan sendiri. Misalnya
tentang struktur dasar mengetahui (misalnya tentang kesadaran), konsep,
kebenaran, teori pembenaran dan kesalahan, jenis pengetahuan serta pengetahuan
dan keyakinan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang sudah tua usianya. Menurut sejarah filsafat,
epistemologi ini sudah muncul sebelum Sokrates. Kata “epistemologi” berasal
dari bahasa Yunani episteme yang
berarti pengetahuan dan logos yang
berarti perkataan, pikiran (akal budi) dan ilmu. Sementara itu, kata episteme sendiri berasal dari kata epistamai yang artinya mendudukkan,
menempatkan atau meletakkan. Maka kata episteme
dapat diartikan “pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan
sesuatu dalam kedudukan setepatnya (J. Sudarminta, 2002: 18). Berdasarkan
etimologi kata epistemologi tersebut, dapat dikatakan bahwa epistemologi adalah
ilmu tentang pengetahuan manusia atau sering disebut juga sebagai teori
pengetahuan. J. Sudarminta mengatakan bahwa sebagai cabang ilmu filsafat,
epistemologi bermaksud mangkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki
dari pengetahuan manusia.
Berdasarkan
cara kerja dan pendekatannya, epistemologi dibagi menjadi epistemologi
metafisis dan epistemologi skepsis. Epistemologi metafisis melakukan pendekatan
terhadap gejala pengetahuan bertitik tolak dari pengandaian metafisis tertentu,
berangkat dari kenyataan dan membahas bagaimana manusia mengetahui kenyataan
itu. Sedangkan epistemologi skepsis lebih banyak berbicara tentang
keragu-raguan terhadap suatu hal.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati,
Khudzaifah. 2004. Teorisasi Hukum. Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum
Di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
Rhitu,
Hyronimus. 2011. Filsafat Hukum: edisi
lengkap (dari klasik sampai postmodernisme). Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar