PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia dalam proses
perkembangannya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan
untuk meneruskan jenisnya. Perkawinan sebagai jalan yang bisa ditempuh oleh
manusia untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga bahagia yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan bahwa perkawinan itu
dilaksanakan sekali seumur hidup dan tidak berakhir begitu saja.
Perkawinan bagi manusia merupakan
hal yang penting, karena dengan perkawinan seseorang akan memperoleh
keseimbangan hidup baik secara psikologis, sosial, maupun sosial biologis.
Seseorang yang melangsungkan perkawinan, maka dengan sendirinya semua kebutuhan
biologisnya bisa terpenuhi.
Kematangan emosi merupakan aspek
yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan. Keberhasilan suatu
rumah tangga banyak ditentukan oleh kematangan emosi baik suami maupun istri.
Dengan dilangsungkannya suatu perkawinan, maka status sosialnya diakui dalam
kehidupan bermasyarakat dan sah secara hukum.
Perkawinan pada umumnya dilakukan
oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, suku bangsa, kaya atau
miskin, dan sebagainya. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai
kemampuan baik dari segi fisik maupun mental akan mencari pasangan hidup sesuai
kriteria yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia, perkawinan seharusnya
menjadi sesuatu yang bersifat seumuru hidup. Tetapi tidak semua orang bisa
memahami hakikat dan tujuan perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan
kebahagiaan yang sejati dalam kehidupan berumah tangga.
Batas usia dalam melaksanakan
perkawinan sangatlah penting karena didalam perkawinan menghendaki kematangan
psikologis. Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya
kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam
kehidupan berumah tangga. Perkawinan yang sukses sering ditandai dengan
kesiapan memikul tanggung jawab.
B. Identifikasi Masalah
1.
Faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya perkawinan usia dini?
2.
Apa dampak yang dialami mereka yang melangsungkan perkawinan pada usia muda?
3.
Bagaimana bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda?
C.
Maksud dan Tujuan
Berdasarkan permasalahan diatas maka
maksud dan tujuan makalah ini adalah:
1. Untuk
mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia dini.
2. Untuk
mendeskripsikan dampak yang timbul dari mereka yang melangsungkan perkawinan
usia dini.
3. Untuk
mendeskripsikan bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda.
D. Kerangka
Pemikiran
E. Metodologi
Dalam pembuatan makalah ini penulis
menggunakan metodologi library research atau kajian kepustakaan. Riset kajian
kepustakaan ini adalah melakukan penelitian dari buku – buku atau kitab – kitab
perpustakaan dan sumber dari internet yang relevan dengan masalah yang dibahas.
Makalah ini merupakan hasil
pengumpulkan data yang penulis lakukan untuk mencari fakta yang berkaitan
dengan masalah tersebut. Baik berupa dokumen atau informasi yang valid dan
dapat dipercaya.
F. Sistematika
Penulisan
Untuk memberikan arah yang lebih jelas
dan gambaran umum tentang makalah ini, maka penulis membuat uraian singkat
tentang isi setiap bab dari makalah ini, sistematikanya adalah sebagai berikut
:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, maksud dan tujuan, kerangka pemikiran,
metodologi, dan sistematika penulisan.
BAB II TEORI-TEORI TENTANG PERKAWINAN
Dalam bab ini berisi tentang teori-teori
yang terdiri dari pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat-syarat
perkawinan dan rukun-rukun perkawinan.
BAB III PERKAWINAN USIA DINI
Dalam bab ini berisi tentang materi dari
makalah yang berjudul PERKAWINAN USIA DINI yang terdiri dari
BAB IV
ANALISA HUKUM
Bab ini berisi tentang analisa
terhadap identifikasi masalah
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan
dan saran.
BAB II
TEORI-TEORI
TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan[1]
adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan
keperdataan, demikian menurut pasal 26 KUHPerdata[2].
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan
menurut agama Islam,[3]
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh
kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan
kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu
yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
UU
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum islam memandang bahwa perkawinan
itu tudak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari
aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan,
sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan
di KUA dan catatan sipil.
B. Tujuan
Perkawinan[4]
Tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1) berlangsung
seumur hidup, (2) cerai diperlukan syarat-syaratyang ketat dan merupakan jalan
terakhir, dan (3) suami-istri membantu untuk mengembangkan diri. Suatu keluarga
dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan
jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah, seperti papan,
sandang, pangan, kesehatan dan pendidikan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah,
contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.
C. Syarat-syarat
Perkawinan[5]
Yang dimaksud
dengan syarat[6]
adalah segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma
untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan. Syarat-syarat yang
perlu dipenuhi oleh seseorang sebelum melangsungkan perkawinan itu ada enam,
yaitu sebagai berikut :
a.
Persetujuan
kedua belah pihak tanpa paksaan
Calon
suami istri mempunyai dorongan (motivasi) yang sama untuk membentuk suatu
kehidupan keluarga. Motivasi mereka itu sebagai persetujuan masing-masing yang
diperoleh dengan adanya saling mengerti dan berkeinginan lanjut berpartisipasi
dalam membentuk satu keluarga. Dan keinginan itu sebagai persetujuan kedua
belah pihak yang tidak dapat dipaksakan oleh pihak lain naik orang tua maupun
orang yang dituakan dalam keluarga masing-masing.
b.
Dewasa[7]
Ukuran
kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usia melainkan dari kedewasaan fisik
dan psikis yang sekurang-kurangnya ada tanda-tanda kematangan diri. Hal ini
ditentukan dari mulai bekerjanya kelenjar kelamin seseorang. Dan tanda-tanda
itu bagi seorang pria sejak pertama kali mengasilkan sperma (baliqh) dan bagi
seorang wanita sejak menstruasi pertama. Tetapi ukuran itu tidak mutlak, karena
yang dimaksud dengan kedewasaan fisik yang ditempuh oleh hukum Islam sesuai
ilmu kesehatan bagi setiap bangsa yang mungkin ada perbedaanya. Sedangkan
kedewasaan psikis dimaksudkan bahwa bagi para pihak telah memiliki kesehatan
mental yang baik, mempunyai rasa tanggung jawab sebagai suami istri terutama
dalam mendidik anak-anaknya dengan wajar dan terhormat.
c.
Kesamaan
agama Islam
Kedua
belah pihak pemeluk agama islam yang sama. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam
memelihara keturunan yang sah tidak ada pertentangan memperebutkan atau
mengalahnya salah satu pihak untuk terwujudnya keagamaan keturunan mereka itu.
Bagi seorang wanita Islam dilarang melakukan perkawinan dengan seorang pria
lain agama dan hukumnya haram. Larangan itu dimaksudkan untuk menjaga dan
memelihara keturunan yang sah sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan bagi
seorang pria Islam yang kuat imannya diperkenankan melakukan perkawinan dengan
seorang wanita lain agama, asalkan bukan wanita penyembah berhala kecuali
bertobat dan bersedia memeluk agama Islam.
d.
Tidak
dalam hubungan nasab
Yang
dimaksud dengan hubungan nasab,[8]
adalah hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun bapak. Syarat ini
diperlukan karena hubungan darah yang dekat baik secara vertical maupun
horizontal tidak dikehendaki, sebab perkawinan dalam keturunan satu darah masih
merupakan satu keluarga besar. Dan kalau dilihat dari dunia kedokteran banyak
terjadi kemungkinan-kemungkinan kelainan perkembangan kesehatan dari keturunan
itu, sedangkan dari segi psikologis banyak terlihat adanya kelainan psikis dan
mental kalau sampai dilangsungkan perkawinan dalam satu hubungan darah.
e.
Tidak
ada hubungan rodhoah
Rodhoah
adalah sepersusuan, maksudnya bahwa antara pria dan wanita yang akan
melangsungkan perkawinan itu pernah mendapat air susu satu ibu ketika masih
bayi walaupun keduanya orang lain. Antara pria dan wanita itu haram hukumnya
kalau melangsungkan perkawinan. Dalam hubungan rodhoah ini haram juga hukumnya
kalau yang menikah saudara-saudara, suami, paman, bibi dan keponakan dari ibu,
yang akan menikah dengan anak sepersusuannya.
f.
Tidak
semenda[9]
(mushoharoh)
Artinya
kedua calon suami-istri tidak mempunyai hubungan perkawinan seperti antara
bapak/ibu, dan menantu, anak dan bapak/ibu tiri, anak bawaan dalam perkawinan
ibu/bapak.
D. Rukun-rukun
Perkawinan[10]
Yang dimaksud dengan
rukun[11]
adalah segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum Islam dan harus dipenuhi
pada saat perkawinan dilangsungkan. Maksudnya bahwa kalau syarat-syarat
perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan saat-saat
untuk sahnya harus ada rukun-rukun yang perlu dipenuhi. Adapun rukun perkawinan
mewajibkan adanya :
a.
Calon
pengantin pria dan wanita
Untuk
melangsungkan suatu perkawinan diperlukan kehadiran kedua calon suami-istri.
Dan kedudukannya sebagai calon suami-istri baru, disebut juga calon pengantin.
Mereka sebagai calon pengantin diwajibkan hadir, karena untuk pengukuhannya
dalam membentuk keluarga baru. Tetapi dalam keadaan berhalangan yang tidak
mungkin kehadirannya saat itu seperti karena sakit keras mendadak, berada di
luar negeri atau tempat lain tanpa dapat meninggalkan tugas dan tidak dapat
hadir dengan alasan-alasan yang meyakinkan, maka dapat diwakilkan untuk
sementara itu kepada seseorang lain yang memenuhi syarat-syarat perkawinannya.
b.
Wali
Wali
adalah orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya.
Syarat-syarat yang wajib dipenuhi untuk ,enjadi seorang wali adalah :
1) Islam,
2) Dewasa,
3) Berpikiran
sehat,
4) Jujur,
5) Baik
tingkah lakunya,
6) Mengetahui
asas-asas dan tujuan perkawinan, dan
7) Mengetahuin
dengan jelas asal-usul calon suami-istri sebagai pengantin.
Di dalam hukum Islam walaupun
seseorang telah memenuhi syarat-syarat menjadi wali, tetapi belum tentu dapat
menjadi wali perkawinan kalau tidak termasuk pada macam-macam wali. Ada 3 macam
wali dalam perkawinan Islam adalah :
1)
Wali
Nasab
Wali
nasab adalah wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita
baik vertical maupun horizontal.
2)
Wali
Hakim
Wali
hakim adalah wali yang ditugaskan oleh kepala negara[12]
yang beragama Islam untuk menikahkan seorang wanita dengan seorang laki-laki
pilihannya.
3)
Wali
Muhakkam
Wali
muhakkam adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercayakan oleh kedua belah pihak
(calon suami-istri) untuk menikahkan di tempat itu asal memenuhi syarat.
Saksi
terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan mendengarkan ijab[14] kabul[15].
Tugasnya dalam perkawinan hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu
benar-benar dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas
tidaknya ijab kabul diucapkan.
d.
Akad
Nikah
Akad
nikah adalah pengukuhan janji perkawinan (pernikahan) sebagai suatu ikatan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sah yang diucapkan dengan
jelas, meyakinkan dan tidak meragukan. Akad nikah itu dilaksanakan dalam
suasana hening dengan pihak wali menyatakan (ijab) dan dijawab oleh calon suami
secara tegas dan jelas dengan menerima (kabul).
Ijab
kabul itu sifatnya langsung (tidak ditunda-tunda) dan tidak meragukan para
saksi. Sedangkan jarak waktu antara ijab ke kabul sekitar 1-2 detik. Kalau
jarak waktu itu tidak dipenuhi atau calon pengantin pria diam, merenung atau
masih memikir-mikir, akibatnya akad nikah itu harus diulang. Pengulangan dapat
juga terjadi kalau kabul tidak sama bunyinya dengan ijab, pengantin pria
gemetar, gugup dan bergetar sebelum mengucapkan kabul. Dan untuk pengulangannya
calon pengantin pria harus ditenangkan dahulu supaya kabulnya diucapkan dengan
mantap dan meyakinkan.
BAB
III
PERKAWINAN
USIA DINI
A. Perkawinan
Usia Dini Dalam Perspektif Psikologi
Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya
persoalan-persoalan psikis[16] dan sosial telah
dijawab dengan logis dan ilmiah oleh M. Fauzil Adhim[17] dalam bukunya
“Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya
“Children Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di
bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik,
bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang
bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum
remaja yang kian tak terkendali.
Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti
empiris dan tidak perlu dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat
studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang
lebih cemerlang (seperti tertera sederet nama orang sukses yang melakukan
pernikahan dini). Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori)
psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan
mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak.
Bahkan menurut Abraham M. Maslow,[18] yang menikah di usia
20 tahun, orang yang menikah di usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi
diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan mereka yang selalu menunda
pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya, menurut Abraham M. Maslow, dimulai dari
saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh
dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan
menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang
mengesankan.
Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di Yogya
bahwa angka perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata,
setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan
yang diakibatkan “kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab
pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan
kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Adapun urgensi pernikahan terhadap
upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bisa dibantah. Ngeri
rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90% mahasiswi di
salah satu kota besar di negara muslim ini sudah tidak perawan lagi. Pergaulan
bebas atau free sex sama sekali bukan nama yang asing di telinga kaum remaja
saat ini. Akhirnya, kata Fauzil Adhim, kita akan menyaksikan kehancuran yang
berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan, para gadis (yang sudah tidak
gadis lagi) hamil di luar nikah. Na ‘udzubillah! Untuk menanggulangi musibah
kaum remaja ini hanya satu jawabnya: nikah.
B. Perkawinan
Usia Dini Dalam Perspektif Agama
Jika menurut psikologis,
usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka bagaimana
dengan agama? Rasulullah SAW. bersabda,
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
Hadits
di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu?
Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah
mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh
bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita)
atau telah mencapai usia limabelas tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Rasulullah SAW, “perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad danAbu Dawud).
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Rasulullah SAW, “perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad danAbu Dawud).
Pesan
Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan
sebuah isyarat bahwa pada usia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki
potensi menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Rasulullah SAW, 19 abad
yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi
(baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum
remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan
oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat
Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang
masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang
shalihah. Salah satu faktor dominan yang
sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari sisi
ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman, sebenarnya, Kita
tak perlu risih dengan yang urusan yang begitu krusial dalam sebuah rumah
tangga ini. Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah,
seperti yang tersirat dalam suratal-Nur ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka
miskin maka Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya
juga menjamin kita dengan sabdanya, “Barang siapa yang ingin kaya, maka
kawinlah”.
C.
Perkawinan Usia Dini Dipandang dari Berbagai Sisi
Menurut
Undang-Undang perkawinan, seorang laki-laki boleh menikah kalau sudah mencapai
usia minimal 19 tahun, sementara pihak perempuan minimal 16 tahun. Kebijakan yang diatur negara ini sudah melewati
banyak pertimbangan sebelum disahkan. Secara fisik dan psikologis, usia-usia
itu adalah batas minimal seseorang bisa memikul sebuah tanggung jawab yang
lebih besar.
Sementara
pertimbangan dari sisi medis, pernikahan usia dini bisa merugikan pihak
perempuan. Kondisi rahim perempuan usia dini masih belum cukup kuat untuk melahirkan
anak. Sementara menurut pakar sosiologi, pernikahan usia dini bisa lebih memicu
konflik keluarga. Ini disebabkan
usia pasangan suami istri yang masih labil, belum matang secara pikiran, dan
penuh emosi.
Dalam
praktiknya, banyak ditemui praktik pernikahan dini di pedesaan, dan kondisi
mereka baik-baik saja. Para sosiolog berpendapat, itu karena masalah kultur
yang tertanam kuat dalam masyarakat desa, dan belum tentu terjadi pada masyarakat perkotaan yang punya kultur berbeda.
BAB
IV
ANALISA
HUKUM
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Menjawab Identifikasi
Masalah Pertanyaan No. 1
1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat,
sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah:
a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga.
b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk
perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang
jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa
mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena
mengikuti adat kebiasaan saja.
2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut
Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
a. Masalah ekonomi keluarga
b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat
kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak
tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya
yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya)
(Soekanto, 1992 : 65). Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor
yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di
lingkungan masyarakat kita yaitu :
1)
Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di
garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
2)
Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih
dibawah umur.
3)
Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran
dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
4)
Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian
Permisif terhadap seks.
5)
Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya
dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
2.
Menjawab Identifikasi
Masalah Pertanyaan No. 2
Dampak perkawinan usia muda akan menimbulkan
hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan
mereka sendiri, terhadap anak-anak, maupun terhadap keluarga mereka
masing-masing.
1. Dampak terhadap suami istri
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan
suami istrti yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa
memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal
tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang
cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi.
2. Dampak terhadap anak-anaknya
Masyarakat yang telah melangsungkan
perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain
berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda,
perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang
melangsungkan perkawinan di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan mengalami
gangguan-gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan
anak.
3. Dampak terhadap masing-masing
keluarga.
Selain berdampak pada pasangan suami-istri
dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap
masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan diantara anak-anak mereka lancar,
sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila
sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya yang terjadi
adalah perceraian. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka
dan yang paling parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua
belah-pihak.
3.
Menjawab Identifikasi
Masalah Pertanyaan No. 3
1.
Pengertian pola asuh
Pola asuh yaitu cara-cara atau bentuk
pengasuhan anak menurut Chabib Thoha (1997:109), bahwa pola asuh merupakan
suatu cara yang terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak
sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kepada anak.
Khan dan Sulaieman (1997:116) menyatakan
pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini
dapat dilihat dari berbagai segi antara lain cara orang tua memberikan
peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah, dan hukuman dan cara orang tua.
Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadapa anak agar dapat
tum buh kembang sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial (Soekirman,
2000).
Anak akan mengalami pertumbuhan secara
alamiah dalam kehidupannya, walaupun demikian anak masih sangat tergantung pada
keberadaan orang dewasa. Pola asuh akan sangat berpengaruh pada proses tumbuh
kembangnya anak yang hidup dalam keluarga yang penuh dengan kasih sayang dan
yang selalu di bawah tekanan akan berada dalam perkembangannya.
Pola pengasuhan anak dalam hal sikap dan
perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak memberikan
makanan, merawat kebersihan, semuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam
hal kesehatan (fisik mental) status gizi, pendidikan umum keluarga dan
masyarakat untuk pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam
keluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan
keluarga dan masyarakat membagi kasih sayang dan sebagainya seibu atau
pengasuhan anak.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pola asuh
a.
Pendidikan Ibu
Pendidikan
merupakan alat di masyarakat untuk memperbaharui dirinya dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat. Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang
berlangsung seumur hidupnya (Suharjo, 1999).
b. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi
mempunyai hubungan erat dengan pendidikan. Anak dan ibu dengan latar belakang
pendidikan yang tinggi akan memungkinkan akan mendapat kesempatan untuk hadir
dan tumbuh dengan baik (Kardyati dkk, 1987).
Membesarkan anak yang sehat tidak cukup
dengan naluri kasih sayang belaka, namun ibu perlu pengetahuan dan ketrampilan
yang baik. Peningkatan pengetahuan serta kemampuan dalam mengasuh anak
merupakan hal yang sangat penting dan harus diusahakan oleh para ibu dalam
rangka membesarkan anak-anaknya (Nadesul, 1996).
Pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui
pendidkan formal, namun juga informasi dimedia massa atau hasil dari pengalaman
orang lain (Alex Sobur, 1981).
c. Aktivitas ibu
Kebutuhan
wanita terhadap tugas dan di luar tugas sebagai ibu adalah berbeda-beda. Ada
beberapa wanita yang merasa bahagia dengan peran khususnya sebagai ibu rumah
tangga. Baginya tidak ada hal yang menyenangkan dari pada masa-masa kecil dan
remaja yang penuh kebahagiaan kepada anak-anaknya (Alex Sobur, 1991).
Dewasa ini mungkin banyaknya ibu berperan
ganda selain sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karier. Semua kitu
guna menciptakan keadaan ekonomi keluarga yang lebih mapan tapi juga
menimbulkan pengaruh terhadap hubungan dengan anggota keluarga terutama
anaknya. Pada mulanya ibu bisa membagi waktu, namun lama kelamaan tugas makin
menantang sehingga menantang sang ayah untuk ikut terjun mengasuh anaknya
(Soelaeman, 1994). Apabila seorang ibu mendapat pekerjaan baik penuh atau paruh
waktu maka orang yang paling cocok untuk menggantikan tugasnya adalah orang
yang mengetahui kenbutuhan makan anaknya, mencintai dan harus sanggup dalam
memeliharan dan mengasuhnya. Ibu yang tidak bekerja dapat mengasuh anak-anaknya
dengan baik dan mencurahkan semua kasih sayangnya, macam dan menu makanan juga
lebih diperhatikan sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kurang gizi pada
anaknya (Nita Lestari, 1996).
d. Status Sosial Ekonomi
Status ekonomi dalam pengasuhan anak dipengaruhi
pola oleh gaya dan pengalaman yang dimiliki serta pengetahuan yang diterimanya.
Status ekonomi keluarga pasangan muda
dikalangan menengah dan bawah ibu lebih condong melakukan pengetahuan dengan
yang lebih cocok menurut dirinya yaitu cenderung demokratis.
3.
Bentuk-bentuk pola asuh
keluarga
Menurut Danny. I Yatin (1986:96) dalam
membina anak kita mengenal empat model pola asuh:
a. Pola asuh demokrasi
Pada pola asuh keluarga ini orang tua
mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya. Hubungan antara orang tua
dengan anak terlihat hangat dan orang tua sering melakukan kegiatan
bersama-sama dengan anak-anak. Dalam mengarahkan tingkah laku anak, orang tua
tidak menekankan bahwa anak harus patuh dan tidak boleh menentang orang tuanya,
melainkan dengan memberikan pengertian dan penjelasan yang logis tentang suatu
hal pada anaknya.
Oleh sebab itu dalam membuat peraturan,
orang tua selalu mengajak anak-anaknya untuk terlibat langsung. Orang tua
selalu mengarahkan agar anak-anaknya bertindak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan. (Danny I. Yatin, 1986:98).
b. Pola pengasuhan penyabar atau pemanja
Segala sesuatu yang berpusat pada
kepentingan anak. Orang tua tidak mengendalikan perilaku anak sesuai dengan
kebutuhan perkembangan kepribadian anak. Orang tua tidak penar menegur atau di
luar kewajaran, hal itu terkesan jangan sampai mengecewakan anak atau yang
penting anak jangan sampai menangis. Anak-anak dengan pola pengasuhan ini
cenderung lebih energik dan renponsif namun mereka cenderung manja, impulsif,
mementingkan diri sendiri dan kurang percaya diri, cengeng, agresif.
c. Pola asuh otoriter
Antara orang tua dengan anak pada pola asu
ini mempunyai hubungan yang kurang hangat, artinya orang tua jarang melakukan
kegiatan bersama dengan anak-anaknya dan orang tua sangat menuntut kepatuhan
dari anak-anaknya. Orang tua biasanya menerapkan disiplin kepada anak-anaknya
dilakukan secara ketat dan apabila anak melakukan kesalahan atau melanggar
peraturan, maka orang tua pada pola asuh keluarga ini tidak segan-segan
memberikan hukuman.
d. Pola asuh pemberian hadiah
Pola asuh pemberian hadiah atau penghargaan
memiliki ciri orang tua senantiasa memberikan hadiah yang menyenangkan, setelah
melakukan perbuatan yang menyenangkan itu bisa berwujud benda yang nyata
seperti makanan, uang dan mainan. Tidak nyata berupa pujian, perhatian maupun
penghargaan. (Danny I. Yatin, 1986:97).
Namun dalam pemberian hadiah tersebut
menjadi rangsangan buat anak untuk berbuat, bukan maksud dan tujuan mengapa
tindakan itu di lakukan.
Pemberian hadiah atau penghargaan dapat
merangsang anak bertingkah laku yang baik dan memuaskan. Penghargaan menjadikan
anak lebih percaya diri bahwa yang dilakukannya mendapat dukungan. Namun
pemberian hadiah yang tidak bijaksana justru kurang mendukung jiwa anak, anak
nanti melakukan perbuatan atas dasar agar dapat hadiah.
Berdasarkan penelitian yang diperoleh dari
observasi dan wawancara dengan inporman pola asuh yang diterapkan oleh orang
tua yang menikah pada usia muda adalah pola asuh demokrasi yang berarti bahwa
dalam membimbing dan mendidik anak mereka memberikan kebebasan kepada anak
untuk mengungkapkan pendapat, keinginan dan perasaannya serta adanya
keterbukaan orang tua dan anak, adanya peraturan-peraturan yang dibuat bersama
dan disepakati bersama. Orang tua hanya bersikap sebagai pemberi pendapat dan
pertimbangan serta arahan terhadap aktifitas anak.
Pola asuh yang demokratis yang diterapkan
oleh orang tua yang melakukan perkawinan usia muda, dalam mengembangkan
disiplin anak umumnya berdasar pada nilai-nilai moral dasar yaitu agama.
Ini terbukti bahwa peran orang tua selain
menyekolahkan anaknya pada sekolah umum, mereka juga menyekolahkan ke sekolah
agama yaitu di madrasah dan TPQ.
Jadi jelaslah bahwa dari masing-masing pola
asuh orang tua di atas akan mempunyai dampak yang berbeda-beda apabila
diterapkan kepada anak.
B.
DAFTAR
PUSTAKA
Syakur, Abdus. 2009. Undang-Undang Dasar 1945 Lengkap. Surabaya:
Indah Surabaya.
HS. Salim, 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW).
Yogyakarta: Sinar Grafika.
Subekti R., 1994. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT
Intermasa.
Djamali, Abdul. 1992. Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju.
Subekti R., 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[1] Subekti R., 1994, Pokok-pokok
Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, hlm. 23.
[2] Subekti R., 2008, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, hlm. 8.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia mangartikan ‘Islam’ adalah agama yang
diajarkan Nabi Muhammad SAW dengan berpedoman kepada kitab suci Alquran yang
diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.
[4] HS Salim, 2001, Pengantar
Hukum Perdata Tertulis (BW), Yogyakarta: Sinar Grafika, hlm. 62.
[5] Djamali Abdul, 1992, Hukum
Islam, Bandung: Mandar Maju, hlm. 79-81.
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘syarat’ adalah janji
(sebagai tuntutan atau permintaan yang harus dipenuhi).
[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘dewasa’ adalah sampai
umur; akil balig (bukan kanak-kanak atau remaja lagi).
[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘nasab’ adalah keturunan
(terutama dari pihak bapak); pertalian keluarga.
[9] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘semenda’ adalah hubungan
kekeluargaan karena ikatan perkawinan.
[10] Djamali Abdul, 1992, Hukum
Islam, Bandung: Mandar Maju, hlm. 82-89.
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘rukun’ adalah sesuatu
yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan.
[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘kepala negara’ adalah
orang yang mengepalai suatu Negara (kerajaan).
[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘saksi’ adalah orang yang
melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian).
[14] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘ijab’ adalah kata-kata
yang diucapkan oleh mempelai perempuan pada waktu menikahkan mempelai
perempuan.
[15] Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ‘qabul’ adalah ucapan
tanda setuju (terima) dari pihak yang menerima suatu akad perjanjian atau
kontrak.
[16] Kamus Besar Bahasa Indonesia menartikan ‘psikis’ adalah sesuatu
yang berhubungan dengan jiwa.
[17] Nama lengkapnya Muhammad Fauzil Adhim. Seorang penulis yang menulis
buku dengan judul ‘indahnya Pernikahan Dini’ pada tahun 2002.
[18] Nama lengkapnya Abraham Harold Maslow. Lahir di Brooklyn, New York
pada tanggal 1 April 1908. Seorang
Pendiri Psikologi Humanistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar