BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Semenjak berakhirnya perang dingin, ditandai
runtuhnya salah satu Negara adikuasa yaitu Uni Soviet, maka isu global beralih
dari komunisme dan pertentangan antara blok barat dan blok timur, ke masalah
baru yaitu masalah Hak Asasi Manusia, masalah lingkungan, dan masalah
liberalism perdagangan. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional, tidak terlepas dari gelombang isu Hak Asasi Manusia
yang melanda hamper semua Negara di dunia ini.
Sebenarnya masalah Hak Asasi Manusia bukanlah
masalah baru bagi masyarakat dunia, karena isu Hak Asasi Manusia sudah mulai
dilontarkan semenjak lahirnya Magna
Charta di Inggris pada tahun 1215, sampai lahirnya piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, yaitu “Universal Declaration Of Human Right” pada tanggal 10 Desember
1948.
Patut pula dikemukakan disini bahwa jauh sebelum
lahir Magna Charta di Inggris tahun
1215, sebenarnya di dunia Islam telah terlebih dahulu ada suatu piagam tentang
Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan “Piagam
Madinnah” pada tahun 622, yang memberikan jaminan perlindungan Hak Asasi
Manusia bagi penduduk Madinnah yang terdiri atas berbagai suku dan agama.
Berhubung Hak Asasi Manusia
merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia semenjak lahir sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa Hak Asasi Manusia tersebut
tidaklah bersumber dari Negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari
Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga Hak Asasi Manusia
itu tidak bias dikurangi (non derogable
right). Oleh karena itu, yang diperlukan dari Negara dan hukum adalah suatu
pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.
Kita tentunya masih ingat dengan
peristiwa kerusuhan atau pembantaian di provinsi Timor-Timur pada tahun 1999.
Dimana pada waktu itu banyak korban berjatuhan karena rakyat Timor-Timur
memilih untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eurico Barros Gomes Guterres, itulah nama lengkapnya. Pria kelahiran
Uatulari, Timor Timur, 17 Juli 1971 ini lebih dikenal dengan nama beken
Eurico Guterres. Ia seorang milisi pro-Indonesia atau anti-kemerdekaan Timor
Timur. Namun, ia dituduh terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur.
Selain itu, Guterres merupakan pemimpin milisi utama pada pembantaian pasca
referendum tahun 1999 dan penghancuran ibu kota Dili.
B. Identifikasi
Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka
penulis akan memberikan beberapa permasalahan dalam pembahasan makalah ini,
yaitu :
1. Bagaimanakah
kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur?
2. Bagaimana
penerapan hukumnya?
3. Apakah
alasan penangkapan terhadap tersangka Eurico Gutteres?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kronologis
pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur
Peristiwa-peristiwa
sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut
memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis
meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan
bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan
ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan
perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di
Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan
media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor
Timur secara de jure tahun 1979.
Namun
dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan
jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999,
melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman
hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh
unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin
kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor
(disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan
perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan
Indonesia.
Integrasi
Timor Timur 1976
Pada
tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur
terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban
dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste
yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk
menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi
ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan
mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada
tanggal 28 November 1975.
Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama
berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste
antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian
terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2
karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia).
Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi
dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia
untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan
Komunis.
Tiga
Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi
terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak
di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat
di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat
untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai
hidup (human shields) untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang
dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain
terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh
kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat.
Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN
selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco
Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan
kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada
waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan
oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai
ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain
Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan
hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN).
Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada
para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu
itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok
pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan komandan Konis
Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara Indonesia. Selama
perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November
1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari
200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan
FRETILN menurut laporan resmi PBB).
Selebihnya
tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara
Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia
karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah
akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal
di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar
tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi
aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan rakyat
bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air.
Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN
selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka,
dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa
“batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.
Insiden
Santa Cruz 1992
Benedict
Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan, lubang
hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai
Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur
yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut
Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian penduduk Kamboja di bawah
Pol Pot.Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun
ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah
Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban
pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.
Namun,
meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November
1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma,
Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa
Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah
saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk
menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan
dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa
lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
Insiden
Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan
pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November
1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka
terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes,
yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa
telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih
diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana
ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai
anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang
mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam
prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib
sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao.
Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak.
Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan
250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru,
Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di
Australia.
Pembantaian
ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn;
dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman
untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil
menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada
seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak
berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan
melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba
di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday
berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV
di Britania pada Januari 1992.
Tayangan
tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan
permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki
komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat
Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah
meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang
melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis.
Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan
pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa
yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah
berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun
hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik
mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar
negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang
secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan
Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan
penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan
rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.
Jajak
Pendapat 1999
Munculnya
tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang
terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna
mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong
Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional.
Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan
status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu
disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan
pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan
ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di
Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat
internasional, khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran
utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.
Berangkat
dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia
internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat
Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut,
pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati
Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi jajak pendapat.
Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor
Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah
negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak
Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang
dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha
sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.
Kunci
dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan
internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting
untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan
oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha
sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka
dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan
kemerdekaan Timor Timur.
Pada
HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste
tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah
Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami
karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan
anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula
negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas
koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975.
Dinamika
politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya
Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa
Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur
menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur
dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang
menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur.
Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia
ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan
pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan
tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.
Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di
akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan
menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi
final atas masalah Timor Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal
itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John
Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie
meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi,
pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar
Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination)
bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut
dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru
dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya.
Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan
keputusan pemerintahan Habibie sendiri.
Aksi
kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa
hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi
opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden
transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan
saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada
masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal
Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan
posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto
mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998.
Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar
adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan
senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan
menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua
Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung.
Habibie
kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di
mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan
refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada
tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Di
mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen
nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin
Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk
memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya,
citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal
sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi
segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal
30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan
Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor
Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang
nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada
akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat
Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk
merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan
kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang
menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini
secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi
tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata.
Pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur.
Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di
kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan
menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau International
Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor
Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di
kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Sejak
awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang
terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui
pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan
yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh
yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui,
adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang
menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena
rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.
B. Penerapan Hukum
Dalam
kasus pembantaian yang terjadi di kota Dili,melibatkan 3 kelompok yang pro
integrasi. Kelompok-kelompok tersebut antara lain, kelompok Aitarak, Pasukan
Pejuang Integrasi, dan Pasukan TNI. Latar belakang dari pembantaian tersebut,
adalah kerena ketidak setujuan terhadap kelompok yang pro atau yang menginginkan
Timor-Timur lepas dari negara Indonesia, sehingga menjadi negara yang merdeka.
Eurico Guterres dalam
kedudukannya selaku atasan atau wakil panglima kelompok Pasukan Pejuang
Integrasi dan atau atasan/komandan dari kelompok Aitarak dimana Terdakwa
sebagai atasan bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran Hak Azasi
Manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah
kekuasaannya dan pengendaliannya yang efektif.
Spesifikasi dari kesalahan
Eurico adalah bahwa ia tidak melakukan pencegahan ketika salah seorang anggota
kelompok itu berpidato dalam sebuah apel akbar peresmian PAM swakarsa, yang
isinya:
- Semua Pimpinan CNRT harus dihabiskan ;
- Bunuh para Pemimpin CNRT ;
- Orang-orang Pro Kemerdekaan harus dibunuh ;
- Bunuh Manuel Viegas Carrascalao ;
- Keluarga Carrascalao harus dibunuh ;
- Bunuh Leandro Isaac, David Dias Ximenes, Manuel Ciegas
Carrascalao ;
- Bunuh keluarga Manuel Viegas Carrascalao ;
Sehingga akibat tidak adanya
pencegahan dari Eurico sebagai atasannya. Apa yang mereka katakan dengan segera
mereka lakukan, sehingga setelah apel mereka mendatangi dan menyerang rumah
Manuel Viegas Carrascalao yang saat itu sedang dihuni oleh 136 (seratus tiga
puluh enam) orang pengungsi dan rumah saksi Leandro Issac. Selanjutnya massa tersebut
melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang berada di rumah
Manuel Viegas Carrascalao dengan menggunakan beberapa jenis senjata yang telah
merka bawa. Akibat serangan tersebut beberapa warga yang ada di rumah Manuel
Viegas Carrascalao, yaitu :
1. Raul Dos Santos Cancela ;
2. Alfonso Ribeiro ;
3. Mario Manuel Carrascalao (Minelito) ;
4. Rafael da Silva ;
5. Alberto Dos Santos ;
6. Joao Dos Santos ;
7. Antonio Do Soares ;
8. Crisanto Dos Santos ;
9. Cesar Dos Santos ;
10. Agustino B.X. Lay ;
11. Eduardo De Jesus ;
12. Januario Pereira ;
Semuanya meninggal dunia. Sehingga
dalam hal ini Eurico diancam pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b jis Pasal 9
huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
C. Alasan penangkapan tersangka Eurico
Gutteres
Ingat milisi Timor Timur, ingat Eurico Guterres. Jabatannya waktu itu,
Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI), telah membuat namanya
melambung. Ia dielu-elukan sebagai pahlawan. Itu dulu. Kini, ia menjadi tahanan
Mabes Polri, karena dituduh melanggar pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP): menghasut orang lain untuk melawan petugas. Eurico ditangkap
Rabu (4/10) di kamar 515 Hotel Ibis, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Penangkapan Guterres, menurut polisi, dilakukan berdasarkan laporan polisi
yang dibuat Polres Atambua, Nusa Tenggara Timur. "Penangkapannya berkaitan
dengan pernyataan yang bersangkutan pada saat di Atambua. Ia menghasut warga
pengungsi Tim-Tim untuk menarik kembali senjata yang sudah dalam penguasaan
kepolisian. Ini yang menjadi dasar pemeriksaan dan penahanan Guterres,"
kata Kadispen Mabes Polri, Brigjen Pol. Saleh Saaf seperti dikutip Kompas.
Sebenarnya, Presiden Abdurrahman Wahid sendiri, dalam perjalanan lawatannya
ke sejumlah negara, pernah mengeluarkan pernyataan bahwa jika melanggar
undang-undang, Guterres harus ditangkap. "Jika diperlukan, orang seperti
Eurico Guterres, kalau memang dia diketahui melanggar undang-undang harus
ditangkap," kata Presiden seperti dikutip koran di atas. Sebelumnya,
Kepala Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (Untaet), Sergio Vieira de
Mello, juga pernah meminta agar Pemerintah Indonesia segera menangkap Guterres
dan komandan milisi pro-integrasi lainnya. Alasannya, Eurico dan kawan-kawan
merupakan salah satu kendala penyelesaian masalah pengungsi Timor Timur di
Atambua.
Alasan penangkapan karena adanya bukti
permulaan yang cukup, menyusul diterimanya laporan polisi LP.603/IX/2000/Res
Belu, 25 September 2000 serta SPDP dari Kapolres Belu kepada Kejari Atambua 29
September 2000. Selain itu adanya keterangan saksi yang menerangkan
keterlibatan pemohon dalam peristiwa perampasan senjata api di Mapolres Belu.
Sementera itu alasan penahanan terhadap tersangka/ pemohon dilakukan berdasarkan adanya kekhawatiran pemohon atau tersangka melarikan diri , merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
Sementera itu alasan penahanan terhadap tersangka/ pemohon dilakukan berdasarkan adanya kekhawatiran pemohon atau tersangka melarikan diri , merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
Penangkapan terhadap pemohon, kata
Suyitno, dilakukan berdasarkan surat perintah penangkapan nomor Pol
SPP/88/X/2000/Korserse, 4 Oktober 2000 yang terlebih dahulu telah diperlihatkan
dan ditunjukkan kepada pemohon saat penangkapan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1)
Pelanggaran Ham berat yang dilakukan oleh kelompok Aitarak
dan kelompok Pasukan Pejuang Integrasi terjadi pada tanggal 17 April 1999 di
rumah Viegas Carascalao di Kota Dili. Dalam kasus ini, menimbulkan korban jiwa
sebanyak 12 (dua belas) orang dan rumah Viegas Carascalao mengalami kerusakan .
2)
Eurico Gutteres didakwa dengan diancam pidana berdasarkan
Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan pasal
37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.
3)
Penangkapannya berkaitan
dengan pernyataan yang bersangkutan pada saat di Atambua. Ia menghasut warga
pengungsi Tim-Tim untuk menarik kembali senjata yang sudah dalam penguasaan
kepolisian.
B. Saran
1) Bahwa keinginan untuk membebaskan diri menjadi Negara yang merdeka
merupakan suatu hak apabila sudah diadakan suatu referendum sehingga pembantaian
tersebut seharusnya tidak boleh terjadi karena apabila tidak setuju harus
diselesaikan secara musyawarah.
2) Setuju bahwa penerapan hukum yang didakwakan kepada Euric Gutteres sudah
tepat karena dia sebagai Wakil Panglima dari kedua kelompok tersebut yang harus
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya.
3) Bahwa penarikan senjata tersebut
seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan tindak pidana baru.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak asasi Manusia
Abdullah,
Rozali HM. Perkembangan HAM dan
Keberadaan HAM di Indonesia. 2004. Bogor : PT. Ghalia Indonesia.
pagi" maw ngerjain tugas, ternyata ada disini tugas ny heheheeeheh
BalasHapusgk perlu pusing lagiiii
maksih ya blog ny, sangat membantu
makalah yang bagus, terus membaca dan berkarya mas.
BalasHapusterima kasih.