BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pasal 24c, ayat (1) UUD Tahun
1945 : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Reformasi di Indonesia dimulai pada
tahun 1998, gerakan reformasi di samping bertujuan menuntut pengunduran diri
presiden juga menuntut perubahan sistem ekonomi, sistem politik dan sistem
hukum, karena sistem ekonomi yang dibangun tidak mampu menghadapi cobaan
(krisis) yang terjadi, sistem politik otoriter jauh dari nilai/paham demokrasi
dan sistem hukum tidak ada kejelasan walaupun dalam UUD 1945 dengan jelas bahwa
Indonesia negara berdasarkan hukum.
Pada acara penyampaian pidato resmi
kenegaraan di depan DPR RI tanggal 15 Agustus 1998 Presiden Prof. Dr. B.J.
Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri dari
jabatannya tanggal 21 Mei 1998, antara lain mengemukakan bahwa esensi dari
gerakan reformasi nasional ini adalah koreksi terencana, melembaga, dan
berkesinambungan terhadap seluruh penyimpangan yang telah terjadi dalam bidang
ekonomi, politik dan hukum. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pada tanggal 21
Mei 1998, beliau telah menyampaikan tekad untuk melaksanakan reformasi secara
bertahap dan konstitusional di segala bidang. Tujuannya adalah untuk memulihkan
kehidupan sosial ekonomi, meningkatkan kehidupan politik yang demokratis dan
menegakkan hukum sebagai langkah awal gerakan reformasi sistem politik. Setelah
diadakan Pemilu Tahun 1999 dan terbentuk DPR/MPR, maka MPR dalam
sidang-sidangnya telah mengamandemen UUD tahun 1945 sebagai langkah awal
reformasi hukum. Amandemen dilakukan secara bertahap sejak SU MPR tahun 1999
sampai sidang tahunan 2002 (sebanyak 4 kali amandemen). Amandemen UUD tahun
1945 merupakan hal yang wajar untuk menuju praktik kenegaraan yang lebih
demokratis, hal ini mengingat UUD tahun 1945 mengandung kelemahan-kelemahan
sehingga praktik kenegaraan di Indonesia oleh gerakan reformis dianggap kurang
demokratis.
B. Identifikasi Masalah
1.
Bagaimana
Perkembangan Hak Menguji Undang-undang?
2.
Bagaimana
Hak Menguji Undang-undang di Indonesia?
C. Maksud dan Tujuan
1.
Untuk
Mengetahui Perkembangan Hak Menguji Undang-undang.
2.
Untuk
Mengetahui Hak Menguji Undang-undang di Indonesia.
D. Metodologi
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metodologi library research
atau kajian kepustakaan. Riset kajian kepustakaan ini adalah melakukan
penelitian dari buku – buku atau kitab – kitab perpustakaan dan sumber dari
internet yang relevan dengan masalah yang dibahas.
Makalah ini merupakan hasil pengumpulkan data yang penulis lakukan
untuk mencari fakta yang berkaitan dengan masalah tersebut. Baik berupa dokumen
atau informasi yang valid dan dapat dipercaya.
E.
Sistematika
Penulisan
Untuk memberikan arah yang lebih jelas dan gambaran umum tentang makalah
ini, maka penulis membuat uraian singkat tentang isi setiap bab dari makalah
ini, sistematikanya adalah sebagai berikut :
BAB
I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah, maksud dan tujuan, metodologi, dan sistematika penulisan.
BAB
II PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi Perkembangan Hak Menguji Undang-undang, dan
Hak Menguji Undang-undang di Indonesia.
BAB
III PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan.
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Hak Menguji Undang-Undang
Salah satu pilar negara demokrasi adalah adanya kekuasaan kehakiman
(peradilan) yang mandiri untuk menjaga praktik kenegaraan kekuasaan dari
kesewenang-wenangan.
Keberadaan kekuasaan kehakiman (peradilan) diharapkan dapat mandiri
dari pengaruh kekuasaan yang lainnya dan harus mempunyai wewenang yang jelas
dalam menjalankan fungsinya, sehingga kewibawaan kelak terjaga.
Perkembangan Mahkamah Konstitusi yang ada di dunia diawali dari
kasus Madison versus Madbury di Amerika Serikat. Pada awalnya manfaat dari
Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan keperluan untuk mengadakan pengujian
terhadap konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan parlemen. Inti
perdebatan dalam kasus tersebut adalah bahwa Mahkamah Agung Amerika Serikat
yang dipimpin John Marshall ditantang untuk melakukan pengujian (review
atau toetsting) atas konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan
oleh Kongres. Keputusan Madbury melawan Madison pada tahun 1803 itu sangat
populer dan diyakini sebagai awal kelahiran judicial review di USA.
Kepala Kehakiman John Marshall berpendapat bahwa konstitusi tertulis dan
pengadilan independen menyiratkan kekuasaan judicial review ada di
Mahkamah Agung, hal ini berkaitan karena adanya kenyataan ketidaksesuaian
antara konstitusi dan undang-undang, sehingga tidak mempunyai pilihan lain,
harus memberlakukan hukum yang lebih tinggi, dan harus menganulir undang-undang
yang lebih rendah.
Tanggapan mengenai hal ini dapat ditemukan dari komentar R.H.S.
Crossman, seorang anggota kabinet Partai Buruh Inggris yang bertanggung jawab
terhadap hukum imigrasi pada tahun 1968, yang menolak masuknya lebih kurang 100
ribu warga negara Inggris yang tinggal di Kenya ke Inggris; dia kemudian
mengatakan bahwa hukum ini akan dideklarasikan tidak konstitusional di setiap
negara dengan konstitusi tertulis oleh Mahkamah Agung.
Praktek judicial review tidak serta-merta dilakukan oleh
penguasa yang demokratis. Tiga negara dengan konstitusi tidak tertulis, serta
enam negara yang mempunyai konstitusi tertulis dan pengadilan tinggi, menolak
secara eksplisit adanya kekuasaan judicial review. Negara-negara
tersebut berpendapat bahwa parlemen adalah pemberi garansi tertinggi dari konstitusi.
Prinsip demokrasi merupakan suatu keputusan penting dan vital maka penyesuaian
hak terhadap konstitusi seharusnya dibuat melalui perwakilan yang dipilih
rakyat, tidak dibuat oleh badan pengadilan yang ditunjuk dan mewakili rakyat.
Sebagai kompromi antara dua pemikiran bertentangan ini, beberapa
negara mempercayakan judicial review ke pengadilan atau badan
konstitusional khusus daripada ke sistem pengadilan umum, dan badan tersebut
terkenal dengan nama Mahkamah Konstitusi. Konstitusi Amerika Serikat sama sekali
tidak memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan upaya yang pada
pokoknya bersifat mempersoalkan produk hukum yang dibuat oleh Konggres yang
merupakan cabang kekuasaan legislatif. Namun kemudian terjadi perkembangan,
selanjutnya timbul ide untuk membentuk Komisi Konstitusi tersendiri di luar
struktur Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya.
Sebagai contoh kekuasaan peradilan tertinggi di USA berada di
tangan Mahkamah Agung yang kekuasaannya sangat tinggi dan sangat dipercaya oleh
masyarakatnya sebagai lembaga yang suci, karena keputusan-keputusannya tidak
pernah mengecewakan rakyat Amerika, bahkan dapat menyelesaikan perselisihan
pendapat tentang hasil Pemilu Presiden. Mahkamah Agung mengadili perselisihan
pendapat tentang hasil pemilihan Presiden yang terakhir dan keputusannya
menetapkan George W. Bush sebagai Presiden dan Al Gore sebagai Wakil Presiden,
dan keputusan tersebut ditaati rakyat Amerika.
Hak Menguji baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal ada
dua macam hak menguji, yaitu :
a.
Hak
menguji formal.
b.
Hak
menguji material.
Hak menguji formal adalah wewenang
untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, dalam proses
pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal terkait
dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi
yang membuatnya.
Hak menguji material adalah suatu
wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan
perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan
dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain
yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu
aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.
Berdasarkan arti dari hak menguji
formal dan hak menguji material tersebut, maka dapat diartikan bahwa :
a.
Hak
menguji merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan
terhadap UUD.
b.
Hak
menguji terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim,
tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Selain hak menguji yang dimiliki hakim, juga
terdapat hak menguji yang dimiliki legislatif dan hak menguji yang dimiliki
eksekutif.
Dapat ditarik pengertian dari
definisi tersebut bahwa definisi dari suatu istilah sangat tergantung dari
sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi Hak Menguji (toestsingsrecht)
yang dikemukakan merupakan pengujian pada negara yang menganut civil law
system. Pada negara yang menganut law civil system, hak menguji yang
dimiliki hakim hanya dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan karena
terhadap tindakan administrasi negara diadili oleh peradilan administrasi. Di
Indonesia, tindakan administrasi negara yang berupa Keputusan Tata Usaha Negara
diadili oleh PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
B.
Hak
Menguji Undang-Undang di Indonesia
Di Indonesia pengaturan hukum tentang judicial review
menjadi suatu hal yang diperdebatkan secara serius sejak founding fathers
membicarakan tentang undang-undang dasar yang akan diberlakukan apabila
Indonesia telah merdeka. Apakah akan memasukkan judicial review atau
tidak dalam konstitusinya.
Sepanjang sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, kebebasan
kekuasaan kehakiman, selalu mengalami pasang surut, artinya selalu menjadi
perdebatan tergantung kondisi sosial politik yang melingkupi sistem peradilan
dan kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang baru, namun mengenai sistem
negara hukum, sudah sejak berdiri Indonesia menganut negara hukum. Hal ini
tercantum dengan jelas dalam penjelasan UUD tahun 1945 (sebelum diamandemen)
yang menyatakan antara lain bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan
atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).
Sebelum amandeman, UUD tahun 1945 kewenangan kekuasaan
kehakiman (peradilan) berada pada Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam
pasal 24 UUD tahun 1945. Kewenangan ini yang diatur dalam peraturan perundangan
yang lain yaitu Pasal 11 ayat (4) Ketetapan MPR RI No. III/MPR/1978 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dan/atau antar
Lembaga Tinggi Negara, yang berbunyi : Mahkamah Agung mempunyai wewenang
menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, Pasal 31 UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan dan Pasal
26 UU No 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Ketentuan
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Hak menguji secara materil terhadap undang-undang merupakan suatu
kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan untuk menguji apakah suatu peraturan
tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan ini diberikan
kepada Mahkamah Agung agar peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif dan
eksekutif dapat diuji apakah sesuai atau tidak dengan peraturan yang lebih
tinggi. Kewenangan Mahkamah Agung dalam hak menguji materil terhadap peraturan
perundang-undangan dibatasi hanya terhadap peraturan-peraturan di bawah
undang-undang.
Implementasi dari peraturan perundang-undangan tersebut dituangkan
dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yaitu PERMA No.1 tahun 1999 yang telah
dicabut dengan PERMA No. 1 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan PERMA
No. 02 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah
Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Prosedur/tata cara hak uji materil diatur
dalam PERMA, dengan pertimbangan ketentuan-ketentuan undang-undang yang
mengatur hak uji materil tersebut bersifat singkat tanpa mengatur tentang tata
cara atau prosedur pelaksanaan hak uji materil. Seyogyanya hal ini diatur
dalam bentuk undang-undang, karena berkaitan dengan masalah hukum acara yang
berlaku di Mahkamah Agung dalam fungsi menjalankan peradilan.
Pelaksanaan hak menguji undang-undang (judicial review)
dalam prakteknya belum optimal karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Hak
menguji yang menjadi wewenang Mahkamah Agung terbatas kepada peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, yang artinya tidak sepenuhnya berada
di bawah kendali Mahkamah Agung, tetapi masih di bawah kendali birokrasi
politik. Rumusan seperti ini merupakan cermin kondisi yang terjadi saat itu,
yaitu terjadinya tarik menarik antara dua kekuatan yang berlawanan dalam
pembahasan pada saat menyusun undang-undang yang pertama memuat masalah
judicial review yakni Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok
Kehakiman yaitu, antara pihak yang menghendaki Mahkamah Agung mandiri dengan
kelompok yang menentang Mahkamah Agung mandiri.
Mengingat kondisi sosial politik pada masa reformasi yang dinamis
dan menghendaki praktek kehidupan demokrasi yang lebih baik, maka
MPR membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar pemerintahan
berjalan seimbang, tidak sewenang-wenang, lahirlah undang-undang tentang
Mahkamah Konstitusi. Lahirnya undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi,
akan membawa konsekuensi adanya perubahan terhadap beberapa peraturan
perundang-undang yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung. Karena
beberapa kewenangan Mahkamah Agung yang ada sekarang akan dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi, yaitu hak menguji undang-undang (judicial review).
Faktor-faktor yang dijadikan dasar untuk melakukan amandemen UUD
tahun 1945, karena pasal-pasal yang mengatur sistem politik, sosial, budaya
kurang kondusif untuk perkembangan demokrasi, dan penegakan hukum. Sistem UUD
yang executive heavy, kurangnya system checks and balances,
rumusan yang interpretable, kekosongan berbagai prinsip dan kaidah
konstitusional yang mendasar, menjadi salah satu sumber kegagalan
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana
dicita-citakan para pendiri bangsa dan negara. UUD tahun 1945 dianggap turut
memberi andil terhadap berbagai kejadian yang tidak sejalan dengan cita-cita
dasar bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD tahun 1945 itu
sendiri. UUD tahun 1945 yang ditetapkan secara kilat, mengandung berbagai
kekurangan dan kekosongan hukum.
Salah satu pasal yang diamandemen adalah pasal 24 UUD tahun 1945
yang mengatur kewenangan lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman. Kewenangan
lembaga peradilan/kekuasaan kehakiman ditambah dengan membuat aturan tentang
Mahkamah Konstitusi yang antara lain mengatur wewenang untuk melakukan
pengujian undang-undang bertentangan atau tidak dengan undang-undang dasar,
yaitu Pasal 24c yang ayat (1) UUD tahun 1945 sebagaimana dikutip di awal
tulisan ini.
Sehubungan dengan pemberian kewenangan pada Mahkamah Konstitusi
tersebut, DPR dan Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang ini pada intinya mengatur tentang kewenangan yang
besar dan sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara, antara lain melakukan
pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945; menyelesaikan perselisihan kewenangan antara lembaga
negara; memutuskan pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan sebagai salah satu
keberhasilan kaum reformis dalam mereformasi hukum di Indonesia. Adanya
Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi untuk menjamin tegaknya prinsip
negara hukum modern (Moderne Democratische Rechtsstaat) dan memperkuat
sistem demokrasi negara modern (modern constitutional democracy). Dengan
terbentuknya Mahkamah Konstitusi ini diharapkan dapat terwujudnya penyelenggaraan
kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik.
Mengutip Afiuka Hadjar, dkk, ada 4 (empat) hal yang
melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1.
Paham
Konstitusionalisme.
Paham
Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya pembatasan
kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep
negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan
kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak
sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan
negara dibatasi oleh konstitusi.
2.
Sebagai
Mekanisme Check and Balance.
Sebuah
sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check
and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances
memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan
menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan,
untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada.
Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka sistem kontrol yang relevan
adalah sistem kontrol judicial.
3.
Penyelenggaraan
Negara yang Bersih
Sistem
pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih,
transparan dan partisipatif.
4.
Perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia.
Kekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan
semena-mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan
pelanggaran terhadap HAM.
Di samping keempat alasan tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi
sejalan dengan Ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
tahun 1999-2004, bersifat integrated, rule of law, accountability, dan transparancy.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi logis dari negara yang
menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan sistem demokrasi modern.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban dari keinginan
rakyat untuk memiliki aturan undang-undang yang berpihak kepada rakyat kecil
atau berpihak pada keadilan (membatasi penguasa), karena selama ini banyak
sekali produk perundang-undangan yang dibentuk hanya berdasarkan kepentingan
politik jangka pendek tidak mempunyai visi dan misi kedepan sehingga masyarakat
tidak berdaya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi mengakomodasikan kepentingan
rakyat yang diperlakukan tidak adil dengan dibuatnya undang-undang yang
bertentangan dengan UUD tahun 1945 sehingga rakyat dapat mengajukan judicial
review.
Masyarakat sangat antusias menyambut keberadaan lembaga ini, hal
ini dapat dilihat dari permohonan judicial review yang diajukan di
Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi, terhadap undang-undang yang diduga bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selalu
meningkat setiap tahunnya.
Pada awal tahun pelaksanaan tugasnya Mahkamah Konstitusi telah
memutuskan beberapa permohonan dan yang diajukan mendapat perhatian masyarakat
luas. Salah satu keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial
review yang diajukan Deliar Noer dkk dan Lembaga Perjuangan dan
Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KRDB) yang menuntut pembatalan pasal
60 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang mengatur
bahwa WNI bekas anggota Partai terlarang (PKI) termasuk organisasi massanya
tidak mempunyai hak dipilih dalam Pemilu tahun 2004, yang bunyi lengkapnya
adalah sebagai berikut: Calon anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan: bukan bekas anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan
orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI, atau
organisasi terlarang lainnya. Mahkamah Konstitusi memandang pasal itu
melanggar hak asasi manusia yang diatur dalam UUD tahun 1945, oleh karena itu pasal
tersebut harus dicabut.
Keputusan lain yang menjadi perhatian publik adalah keputusan
gugatan Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang
mengajukan gugatan judicial review terhadap Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap bertentangan dengan UUD
1945, dan isi pasalnya ada yang saling bertentangan, di satu pihak masih
mengakui keberadaan instansi terkait termasuk KPKPN, tetapi di pihak lain
menempatkan KPKPN merupakan salah satu bagian dari KPK. Permohonan Ketua KPKPN
ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan konsekuensinya Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 tentang KPK tetap berlaku dan eksistensi KPKPN secara mandiri teranulir
menjadi bagian dari KPK.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang tidak kalah populernya pada
tahun 2006 adalah membatalkan kewenangan Pengadilan Ad Hoc dalam mengadili
perkara korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh KPK, dan pembatalan
Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi.
Terlepas dari pendapat yang pro dan kontra terhadap keputusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, merupakan suatu realita bahwa Mahkamah Konstitusi
dengan kewenangannya sudah dapat menyelesaikan perselisihan para pihak yang
berbeda pendapat tentang suatu pasal undang-undang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945
pasal 24c dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 merupakan langkah awal bangsa
Indonesia dalam menjalankan pembangunan sistem hukum sesuai tuntutan reformasi
di bidang hukum agar praktik kenegaraan di Indonesia lebih demokratis dan adil
sesuai amanat UUD 1945. Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat mengajukan Judicial Review terhadap
undang-undang yang dianggap merugikan kepentingan dan bertentangan dengan
undang-undang dasar.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang sudah dapat
menunjukkan kinerjanya dalam menangani perselisihan pendapat antara para pihak
terhadap suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Oleh
karena itu semua pihak yang terlibat dalam penyiapan undang-undang, khususnya
DPR dan Pemerintah seharusnya lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat dan
tidak meninggalkan prinsip filosofis, yuridis dan sosiologis dalam membentuk
suatu undang-undang, untuk mengurangi undang-undang yang dibuat tersebut
dinilai oleh masyarakat telah merugikannya dan bertentangan dengan UUD 1945,
sehingga diajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi.
Untuk menjaga kredibilitasnya, Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan kewenangannya mengambil keputusan dalam menguji suatu undang-undang
hendaknya menghindari pengaruh dari kepentingan politik tertentu.
Bagi pemangku kepentingan dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan (baik pihak pemerintah, dewan perwakilan maupun masyarakat
luas) dituntut selalu meningkatkan kompetensinya. Salah satu usaha untuk itu
adalah melalui pendidikan dan pelatihan legal drafting bagi pihak yang
menyiapkan rancangan peraturan perundang-undangan untuk mengikutinya secara
rutin dan bertahap dengan harapan kompetensi yang bersangkutan akan selalu
meningkat dan terjaga dengan baik, yang akhirnya peraturan perundang-undangan
yang dihasilkan akan lebih baik dalam arti mengakomodasikan kepentingan semua
pihak, tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan dapat
dilaksanakan tanpa menimbulkan gejolak yang berarti dalam kehidupan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Djamali, R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta. 1993.
Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Hukum Tata Negara Indonesia,
PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2005.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar