Kamis, 11 Juli 2013

Makalah Politik Hukum : Peranan Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Perlu kita ketahui bahwa pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang, perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Dan untuk mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinkan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh. Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu Pancasila.
            Pada pembangunan lima tahun yang merupakan sebagai Rule of Law pada tahun 1969 merujuk kepada paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka, dimana Hukum di fungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat proses pembangunan melakukan pendekatan baru yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan hukum dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada persoalan normative dan ligitigatif (dengan kombinasi melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional). Yang secara Eksplisit dan resmi dalam naskah Rancangan Pembangunan Lima Tahun Kedua Tahun 1974, Bab 27 Paragraf IV butir I Menguraikan : “Hukum dan Rancangan Perundang-undangan”, dengan prioritas untuk meninjau kembali dan merancang peraturan-peraturan perundang-undangan sesuai dengan pembangunan sosial-ekonomi (perundangan-undangan disektor social-ekonomi.
            Kontinuitas Perkembangan Hukum Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Kolonial yang dinasionalisasi, adalah pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia, adalah dengan hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan bisnis Internasional (berasal dari hukum dan praktek bisnis Amirika), Para ahli hukum praktek yang mempelajari hukum eropa (belanda), dalam hal ini, mochtar berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum dan bisnis Internasional, telah melakukan pengembangan hukum nasional Indonesia dengan dasar hukum kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila adalah yang dipandang paling logis.
B.  Identifikasi Masalah
            Berdasarkan deskripsi diatas maka penulis perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimana peranan politik hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia?















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Peranan politik hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia
            Sudah banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan oleh para ahli di dalam berbagai literature. Dari berbagai pengertian atau definisi itu, dengan mengambil substansinya yang ternyata sama, bahwa politik hukum adalah “legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara.” Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan Negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
            Secara lebih spesifik perkembangan karakter produk hukum tentang Pemilu, Pemda, dan Agraria menurut penggalan waktu (periodisasi) konfigurasi politik tersebut adalah sebagai berikut.
1)      Hukum Pemilu
                  Setelah proklamasi kemerdekaan (selama periode 1945-1959) berbagai eksperimen, perundang-undangan tentang Pemilu dikeluarkan, tetapi pada era ini terjadi Pemilu yang benar-benar fair , yaitu Pemilu untuk anggota DPR dan konstituante pada tahun 1955 dilaksanakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953 ini memuat materi sangat rinci (139 pasal)sehingga tidak memberikan space yang terlalu besar kepada eksekutif untuk menafsirkannya dengan peraturan pelaksana menurut visi politiknya sendiri. Organisasi penyelenggara Pemilu adalah independen dan tidak di intervensi oleh kekuatan politik pemerintah. Pengangkatan anggota DPR maupun konstituante yang tidak berdasar hasil Pemilu hanya dimungkinkan bila terjadi situasi memaksa tertentu, yaitu adanya daerah yang berhalangan menyelenggarakan pemungutan suara (sehingga dimungkinkan pengangkatan untuk sementara), atau karena kuri-kursi DPR dan konstituante tidak terbagi habis setelah dibagi-bagi menurut perimbangan perolehan suara, atau karena tidak terpenuhinya jumlah minimal tertentu untuk golongan minoritas China, Arab, dan Eropa. Dengan demikian, produk hukum Pemilu pada era ini dikualifikasi sebagai produk hukum yang lebih berwatak responsive/populistik.
                  Pada era demokrasi terpimpin (1959-1966) tidak pernah ada Pemilu maupun UU Pemilu, sesuai dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter. Tetapi lembaga perwakilan rakyat yang ada mengalami emaskulasi untuk akhirnya dibubarkan oleh presiden. Logika pembangunan ekonomi pada era Orde Baru (1966-1998) telah menyebabkan pemerintah mengambil sikap tertentu tentang Pemilu, yakni Pemilu harus diadakan sesuai dengan tuntutan konstitusi, tetapi kekuatan pemerintah harus menang. Oleh sebab itu, UU Pemilu, yaitu UU No. 15 Tahun 1969, yang kemudian hampir selalu diperbaharui setiap menjelang Pemilu, lebih cenderung berwatak konservatif/ortodoks/elitis. Artinya lebih banyak memberi keuntungan kepada kekuatan politik pemerintah. Di dalam UU tersebut dianut system pengangkatan secara tetap (untuk jumlah tertentu) yang ditentukan oleh dan untuk visi politik pemerintah. Organisasi penyelenggara Pemilu dinilai tidak netral dan peraturan-peraturan pelaksanaannya yang merupakan interpretasi resmi atas UU Pemilu (electoral laws) dinilai tidak fair. UU No. 15 Tahun 1969 yang hanya memuat 37 pasal memang member space sangat luas kepada pemerintah untuk memberikan interpretasi, yang dalam banyak hal dinilai tidak sekadar “interpretasi teknis.”

2)      Hukum Pemda
                  Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945 membawa semangat demokrasi yang cenderung liberal sehingga masalah desentralisasi menjadi salah satu perhatian utama. Pada periode 1945-1959, masalah desentralisasi berjalan secara eksperimental dalam wujud lahirnya UU Pemerintahan Daerah (Pemda) sampai tiga kali, yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan UU No. 1 Tahun 1957. Secara umum hukum Pemda pada era 1945-1959 ini dapat dikualifikasi sebagai hukum yang berkarakter sangat renponsif/populistik karena luasnya otonomi yang diberikan kepada daerah. DPRD merupakan penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan desentralisasi, sedangkan tugas pembantuan lebih banyak ditangani oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilihan kepala daerah otonom juga sangat fair, yakni dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat yang untuk tahap awal (sebelum ada UU tentan Pemilihan Kepala Daerah) dipilih oleh DPRD. Begitu juag control pusat terhadap produk Peraturan Daerah (Perda) hanya dibatasi pada hal-hal tertentu yakni pada masalah-malasah yang menyangkut kepentingan umum.
                  Pemerintah pada era demokrasi terpimpin memandang system otonomi atau desentralisasi yang berlaku sejak zaman demokrasi liberal membahayakan keutuhan nasional karena tendensi pada timbulnya gerakan-gerakan daerah yang disintegratif. Presiden Soekarno segera mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang merombak secara total dasar-dasar yang dipakai oleh UU No. 1 Tahun 1957. Penpres No. 6 Tahun 1959 menggeser dominasi asas desentralisasi kea rah sentralisasi atau pengendalian daerah secara ketat oleh pusat. Meskipun penpres tersebut secara “formal” masih menyebut asas otonomi nyata yang “seluas-luasnya”, namun asas tersebut tidak dielaborasi sama sekali, malahan penpres itu memuat ketentuan-ketentuan yang sangat tidak sesuai dengan prinsip desentralisasi. Kepala daerah diangkat dan ditentukan sepenuhnya oleh pusat dengan kedudukan sekaligus sebagai pengawas (atas nama pusat) atas jalannya pemerintahan di daerah yang diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD. Penpres ini kemudian digantikan oleh UU No. 18 Tahun 1965 yang lebih merupakan penggantian “baju hukum”  karena isinya tidak mengandung perubahan yang berarti, bahkan dapat dikatakan bahwa UU No. 18 Tahun 1965 mengambil hamper seluruh isi Penpres No. 6 Tahun 1969 sebagai materinya. Dengan demikian, produk hukum tentang Pemda pada periode ini memiliki karakter yang sangat konservatif/ortodoks/elitis.
                  Era Orde Baru (1966-1998) yang berusaha menggalang “persatuan dan kesatuan” melakukan perubahan terhadap UU No. 18 Tahun 1965. Meskipun pada awal Orde Baru, MPRS menetapkan asas otonomi nyata yang seluas-luasnya, tetapi ketetapan MPRS ini harus diganti sebelum berlaku. Orde Baru memandang penetapan otonomi yang seluas-luasnya bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan sehingga harus diganti dengan asas otonomi nyata dan bertanggung jawab yang lebih merupakan kewajiban bagi daerah. Asas otonomi nyata dan bertanggung jawab ini dituangkan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 yang kemudian dijabarkan dengan UU No. 5 Tahun 1974. Meskipun tidak seekstrem UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 6 Tahun 1974 ini dapat dikualifikasi sebagai produk hukum yang cenderung berkarakter konservatif karena memberikan porsi kekuasaan kepada pusat secara lebih dominan. Kepala daerah diangkat oleh pusat dari calon-calon yang diajukan daerah berdasarkan hasil pemilihan DPRD tanpa terikat pada peringkat hasil pemilihan DPRD itu. Calon-calon yang akan dipilih untuk diusulkan oleh DPRD itu harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pusat. Hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan kepala daerah sebagai organ daerah otonom sekaligus alat pusat di daerah. Kepala daerah diletakkan pada posisi penguasa tunggal dalam bidang pemerintahan di wilayahnya masing-masing yang menempel di atas daerah otonom. Control pusat atas daerah masih melalui pengawasan preventif, pengawasan represif, dan pengawasan umum. Dengan demikian, desentralisasi menurut UU No. 5 Tahun 1974 sebenarnya lebih diwarnai oleh sentralisasi sehingga produk hukum ini bukan produk yang berwatak renponsif.
3)      Hukum Agraria
                  Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, hukum-hukum agraria yang ditinggalkan kolonialisme Belanda mendapat gugatan secara gencar agar diganti dengan hukum agraria yang lebih renponsif. Pemerintah sendiri menempuh dua jalur untuk memenuhi gugatan-gugatan itu, yaitu mengeluarkan peraturan perundang-undangan secara parsial dalam bidang keagrariaan dan membentuk berbagai Panitia Perancang Hukum Agraria Nasional. Peraturan perundang-undangan yang sifatnya parsial itu dibuat untuk sementara sambil menunggu lahirnya hukum agraria nasional yang materi-materinya berisi pencabutan terhadap bidang-bidang tertentu dalam hukum agraria yang dirasa sangat tidak adil. Seperti pencabutan hak konversi bagi pengusaha Eropa dengan UU No. 13 Tahun 1948, penghapusan tanah partikelir dengan UU No. 1 Tahun 1958, perubahan Peraturan Persewaan Tanah dengan UU Darurat No. 6 Tahun 1951 (yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 6 Tahun 1952) dan sebagainya. Semua produk hukum dalam bidang agraria yang masih bersifat parsial mempunyai karakter yang lebih renponsif/populistik.
                  Sejak awal kemerdekaan pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah untuk membuat hukum agraria nasional yang komprehensif melalui pembentukkan berbagai Panitia Agraria. Mula-mula dibentuk Panitia Agraria Yogya (1948), kemudian disusul dengan Panitia Agraria Jakarta (1951), dan Panitia Soewahjo (1956). Rangkuman hasil-hasil kerja berbagai panitia itu diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada DPR sebagai RUU. Namun, RUU yang diajukan pada era demokrasi liberal ini kemudian ditarik oleh pemerintah karena terjadi perubahan konstitusi berkenaan dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. RUU tersebut setelah diperbaharui atau disesuaikan dengan terma-terma yang ada dalam UUD 1945 dan konsepsi demokrasi terpimpin diajukan lagi kepada DPR sebagai RUU pada tahun 1960 oleh Menteri Agraria Sadjarwo untuk kemudian disahkan menjadi UU No. 5 Tahun 1960 yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). UUPA menghapus semua watak yang melekat pada AW 1870 dan semua produk hukum yang menyertainya, yaitu watak dualistic, feodalistik, dan ekploitatif. UUPA juga memuat asas “fungsi social” bagi hak atas tanah serta prinsip pembatasan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki secara adil. Domeinverklaring dinyatakan dicabut dan diganti dengan asas “hak menguasai dari Negara” yang berorientasi pada upaya mengusahakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, UUPA berkarakter sangan renponsif/populistik.
                  Kasus UUPA menjadi satu-satunya produk hukum yang berkarakter responsive dalam penelitian ini pada era demokrasi terpimpin yang otoriter. Hal ini bisa dijelaskan dari empat hal, yaitu : Pertama, UUPA berasal dari warisan (rancangan-rancangan) zaman demokrasi liberal yang pengundangannya tertunda karena ada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, UUPA memuat materi yang membalik dasr-dasar kolonialisme yang sudah pasti sangat ditentang oleh semua pemimpin Indonesia, baik pemimpin yang demokratis maupun yang otoriter. Ketiga, materi UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu sebuah rezim otoriter sekalipun. Keempat, UUPA tidak hanya memuat aspek public (hukum administrasi Negara), tetapi juga memuat masalah-masalah privat (hukum perdata).
                  Pada era Orde Baru tidak diperlukan lagi sebuah produk hukum agraria nasional karena Indonesia sudah meiliki UUPA. Oleh sebab itu, hanya dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan dalam bidang keagrariaan yang sifatnya parsial. Ada tuntutan bagi Orde Baru untuk melakukan pembaharuan terhadap beberapa masalah (parsial) dalam bidang agraria ini, seperti yang menyangkut UU Landreform (UU No. 56/PRP//1960).
                  Dapat juga dicatat bahwa proses pembangunan pada era Orde Baru telah menyebabkan meningkatnya tuntutan atas penggunaan lembaga onteigning (pencabutan hak atas tanah), seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961. Tetapi sikap pragmatis Orde Baru telah melahirkan peraturan perundang-undangan parsial dalam bidang agrarian ini yang dapat dikualifikasi cenderung berkarakter konservatif/ortodoks. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975 tentang Prosedur Pembebasan Tanah untuk Keperluan Pembangunan, di samping materinya secara hierarkis tidak proporsional karena memuat materi UU atau mengatur cara lain dari apa yang diatur UU No. 20 Tahun 1961, tidak memberikan alternative jika “musyawarah” untuk pembebasan tanah itu gagal, sehingga di dalam praktik banyak menimbulkan masalah yang cenderung selalu memenangkan pihak yang ingin membebaskan tanah.
                  Dalam pada itu, Inpres No. 9 Tahun 1973 dapat juga dipandang sebagai produk peraturan perundang-undangan yang lebih memenuhi keperluan praktis pemerintah untuk melakukan pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan. Seharusnya materi kedua peraturan perundang-undangan ini dapat dibuat lebih rinci dan diberi bentuk hukum setingkat UU. Sedikit kemajuan terjadi pada tahun 1993, pemerintah mengeluarkan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kemajuan tersebut, misalnya terlihat pada prosedur musyawarah yang lebih terbuka untuk menentukan ganti rugi. Terlihat juga adanya jalan keluar jika penetapan ganti rugi ditolak pemilik hak atas tanah, yakni dengan mengajukan keberatan dan minta penyelesaian gubernur. Jika penetapan gubernur itu masih ditolak dapat ditempuh penyelesaian dengan menggunakan UU No. 20 Tahun 1961, yaitu prosedur pencabutan hak (onteigning). Namun Karena substansinya sangat penting, materi Keppres No. 55 Tahun 1993 seharusnya diberi baju hukum dalam bentuk UU yang sekaligus diintegrasikan dengan UU No. 20 Tahun 1961.











BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Hasil telaah atas kasus-kasus dalam studi ini menunjukkan bahwa perkembangan karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka karakter produk hukum yang dilahirkannya cenderung responsive/populistik. Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi yang otoriter, maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.











DAFTAR PUSTAKA
M.D., Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Title: Makalah Politik Hukum : Peranan Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum di Indonesia; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

2 komentar: