Sabtu, 20 Juli 2013

Memahami Gratifikasi Sebagai Potensi Perbuatan Korupsi



Apa yang Dimaksud dengan Gratifikasi?
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:
“Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.
Apabila dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.

Bilamana Gratifikasi Dikatakan Sebagai Tindak Pidana Korupsi?
Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:....”
Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya.
Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut segera melaporkannya pada KPK untuk dianalisis lebih lanjut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak benar bila Pasal 12B dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah melarang praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di Indonesia. Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya sebuah rambu tambahan yaitu larangan bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara untuk menerima gratifikasi yang dapat dianggap suap.

Sumber : Buku Saku Memahami Gratifikasi
Diterbitkan Oleh : KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Title: Memahami Gratifikasi Sebagai Potensi Perbuatan Korupsi; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

1 komentar: