Kamis, 11 Juli 2013

Hukum Acara Peradilan Militer : Rangkuman Buku Hukum Acara Peradilan Militer Bab I-III



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Peradilan Militer Sebagai Peradilan Yang Berdiri Sendiri
            Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah Negara hukum.
            Pelaksanaan penegakan hukum dilakukan oleh badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang merupakan alat kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa :
            Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
            Dalam peradilan militer, yang disebut sebagai pengadilan sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut :
            Pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran”.
            Keberadaan peradilan militer di Indonesia tercantum dalam konstitusi Negara yang didasarkan kepada Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX tentang kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa :
            Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
            Terbentuknya peradilan militer di Indonesia pertama kali pada tahun 1947 didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Adanya Pengadilan Ketentaraan Disamping Pengadilan Umum. Pembentukan peradilan militer ini setelah kurang lebih 2 (dua) tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia serta terbentuknya organisasi militer yang diberi nama TNI.
            Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer berbeda dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mencantumkan tentang Oditurat serta Hukum Acara Pidana Militer. Sedangkan dalam system peradilan umum, Hukum Acara Pidana terpisah dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
B.  Eksistensi Peradilan Militer Di Era Reformasi
            Menyangkut kompetensi, perubahan yang dikehendaki adalah bahwa peradilan militer cukup mengadili terhadap perkara pidana sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), sementara itu perkara tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bila dilakukan oleh militer, maka hal ini menjadi kewenangan dari peradilan umum. Hal ini dimaksudkan agar asas kesamaan di muka hukum (equality before the law) dapat terwujud dengan tidak memandang perbedaan status sipil maupun militer.
            Hal lain yang terjadi dan berkembang dalam system peradilan militer adalah pandangan umum selama ini terhadap peradilan militer dipandang sebagai lembaga peradilan yang bersifat ekslusif , bersifat tertutup. Pendapat lain bahkan menyatakan bahwa proses persidangan di pengadilan yang berada dalam lingkup peradilan militer seolah-olah hanya diperuntukan bagi militer level bawah, sedangkan level atas sulit sekali tersentuh oleh hukum. Alasan ini kemudian bergulir menjadi sebuah desakan agar kompetensi peradilan milliter dibatasi dengan perkara yang menyangkut tindak pidana militer saja sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer.
            Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang di dalamnya mengatur pula tentang Hukum Acara Pidana Militer, disebutkan dalam Pasal 69 ayat (2) tentang Penyidik Pembantu adalah Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Provos Tentara Nasional Indonesia ANgkatan Laut, Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini POLRI tidak lagi tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer, selain itu di tiap-tiap angkatan sudah tidak ada lagi Provos Angkatan, karena sudah berubah menjadi Polisi Militer Angkatan yaitu Polisi Militer Angkatan Darat disingkat POMAD, Polisi Militer Angkatan Laut disingkat POMAL, Polisi Militer Angkatan Udar disingkat POMAU yang kedudukannya sama dan sejajar. Sehingga keberadaan pasal-pasal tersebut sudah sangat tidak relevan lagi dengan kondisi organisasi militer sekarang yang telah berubah.







BAB II
ORGANISASI MILITER INDONESIA PADA MASA PEMBENTUKANNYA
A.  Militer Sebagai Fungsi Penjaga Kedaulatan Negara
            Di Negara maupun di dunia ini, militer merupakan organ yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang kedaulatan suatu Negara ada pada kekuatan militer yang dimilikinya. Ancaman terhadap kedaulatan Negara tersebut secara umum bias dating dari luar maupun dari dalam Negara itu sendiri, yang dating dari luar dapat berupa penyerangan (aggression), penyerbuan (invasion), atau aneksasi yang dilakukan oleh Negara asing. Ancaman yang dating dari dalam dapat berupa pemberontakan dengan maksud membentuk Negara baru terpisah dari kekuasaan yang ada, menggulingkan atau menggantikan pemerintahan dengan pemerintahan yang baru secara tidak syah.
            Selain menjaga kedaulatan Negara, militer juga digunakan untuk memperluas wilayah atau pengaruh suatu Negara dengan melakukan hal terbaik dengan fungsi yang pertama sebagai penjaga kedaulatan Negara, sehingga dengan demikian fungsi militer dapat dibagi menjadi dua yaitu defensive (bertahan) atau to take the offensive (menyerang).

B.  Terbentuknya Organisasi Militer Indonesia
            Pada awal bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, Republik Indonesia belum memiliki organisasi militer, sementara itu yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan saat itu adalah rakyat yang secara serentak mengangkat senjata dan bergabung dalam lascar-laskar perjuangan. Sebagian dari lascar-laskar tersebut adalah mereka mantan anggota KNIL, PETA dan Heiho, yang telah sadar atas tanggung jawabnya terhadap bumi pertiwi.
            Pada tanggal 22 Agustus 1945 Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat yang disingkat BKR sebagai wadah dari seluruh lascar pejuang yang mempertahankan kemerdekaan. Selanjutnya pada tanggal 5 oktober 1945 dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat yang disingkat TKR. Tanggal 5 Oktober selanjutnya oleh pemerintah dijadikan sebagai hari lahirnya Tentara Nasional Indonesia.
            Perkembangan selanjutnya dari organisasi militer Indonesia adalah dengan diselenggarakannya Konferensi Tentara Keamanan Rakyat Ke-1 pada tanggal 12 November 1945 yang salah satu hasil terpentingnya adalah memilih Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar. Dalam kepemimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman nama Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 7 januari 1946 diganti menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Namun selanjutnya oleh pemerintah berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 4/S.D tanggal 25 Januari 1946 nama Tentara Keselamatan Rakyat diganti lagi menjadi Tentara Republik Indonesia disingkat TRI.
            Dianggap masih belum tepat dengan penggunaan istilh TRI maka pada tanggal 7 Juni 1947 penyebutan organisasi militer Indonesia diganti lagi dengan istilah yang baru yaitu Tentara Nasional Indonesia disingkat TNI. Pada tahun 1959, penyebutan Angkatan Perang Republik Indonesia diubah lagi menjadi Ankatan Bersenjata Republik Indonesia yang disingkat ABRI.

C.  Konflik Pasca Pembentukan Tentara Nasional Indonesia
            Konflik bersenjata atau pemberontakan yang terjadi era mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia tidak jarang menimbulkan keadaan darurat, tidak saja terbatas pada gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum saja melainkan sekaligus mengandung ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan Negara.
            Sebut saja periode 1950-1959 pada peristiwa di Makasar, yaitu pemberontakan oleh Andi Azi, peristiwa APRA, Republik Maluku Selatan, peristiwa DI/TII, dan peristiwa terbesar yaitu peristiwa PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi. Hukum khusus yang berlaku pada keadaan darurat, dalam hal ini darurat perang adalah hukum militer. Didalam hukum militer ini mencakup tentang peradilan militer.
















BAB III
SEJARAH PERADILAN MILITER DI INDONESIA

A.    Gambaran Umum
            Pada tahun 1946 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 7 Tahun 1946 tentang Peradilan Tentara. Inilah yang menjadi awal berdirinya system peradilan militer di Indonesia.
            Peradilan militer dilihat dari perkembangannya, sudah mulai ada sejak jaman penjajahan Belanda yang pada saat itu disebut Krijgsraad, Zee Krijgsraad dan Hoog Militaire Gerechtstoop.
            Setelah Indonesia merdeka dengan landasan konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar 1945, peradilan umum dan peradilan agama yang keberadaannya sudah ada sejak jaman colonial dinyatakan langsung berlaku untuk mengisi kekosongan saat itu.
            Khusus untuk peradilan militer, Pemerintah tidak memberlakukan peradilan militer yang ada pada jaman colonial, dengan alasan kebutuhan akan peradilan militer saat itu belum mendesak.

B.     Periode Peradilan MIliter Belanda Di Indonesia
            Untuk mendukung tegaknya hukum dilingkungan militer Belanda, maka didirikanlah 3 bentuk pengadilan dengan kompetensi berbeda, yaitu :
1.      Krigsraad. Memiliki kompetensi memeriksa dan mengadili untuk tingkat pertama terhadap personil Angkatan Darat Belanda termasuk para anggota militer dalam Koninklijik Nederlandsch Indische Leger (KNIL).
2.      Zee Krisgraad. Memiliki kompetensi memeriksa dan mengadili untuk tingkat pertama terhadap personil Angkatan Laut Belanda atau Koninklijke Marin.
3.      Hoog Militaire Gerechtshop. Merupakan pengadilan tingkat pertama bagi personel militer yang berpangkat lebih tinggi dari Kapten, sekaligus merupakan pengadilan tingkat kedua atau tingkat banding bagi personil Angkatan Darat Belanda atau KNIL dan personil Angkatan Laut Belanda.


C.      Peradilan Militer Indonesia  Pada Masa Perang Kemerdekaan
            Melalui Undang-Undang No 7 Tahun 1946 tentang Adanya Pengadilan Ketentaraan Disamping Pengadilan Umum, sedangkan untuk system beracara pada peradilan militer diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Tentara.
1.      Peradilan Militer Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946
        Dalam undang-undang ini tidak hanya mengatur tentang pengadilan tentara saja tapi jiga pasal-pasal didalamnya mengatur tentang kejaksaan tentara.
        Pasal 1 pada undang-undang ini mengatur bahwa dalam pengadilan tentara hanya terdiri dari 2 badan pengadilan, yaitu :
·         Mahkamah Tentara
·         Mahkamah Tentara Agung
  Fungsi pengadilan tentara menurut pasal 2 adalah menyelesaikan perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yng dilakukan oleh:
a.         Prajurit Tentara Republik Indonesia, Angkatan Laut Republik Indonesia, dan Angkatan Udara Republik Indonesia.
b.        Orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan prajurit yang dimakud pasa sub a.
c.         Orang yang tidak termasuk golongan a atau b, tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan, atas ketetapan Mentri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman, harus diadili oleh Pengadilan Tentara.

Pengadilan Tentara berdasarkan Pasal 4 berhak mengadili perkara-perkara kejahatan yang dilakuan oleh siapapun juga jukalau kejahatan tersebut termasuk tite I atau title II. Pada Pasal 5 diatur pula tentang tindak pidana koneksitas bahwa kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh mereka yang dimaksudkan pada Pasal 2 sub a dan b, bersama-sama dengan orang yang tidak termasuk golongan sub a dan b itu, diadili oleh pengadilan biasa, kecuali jikalau ketetapan Menetri Pertahanan dengan persetuuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diadili oleh Pengadilan Tentara.
Mahkamah Tentara Agung, berdasarkan Pasal 12 berwenang memutus dalam tingkat pertama dan penghabisan terhadap perkara-perkara yang terdakwanya adalah :
a.       Prajurut yang serendah-rendahnya berpangkat Mayor.
b.      Seorang yang seandainya dituntut dihadapan pengadilan biasa, diputus oleh Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi.
Selain itu, dalam Pasal 13 Mahkamah Tentara Agung merupakan pengadilan tingkat kedua atau pengadilan tingkat banding dan penghabisan dalam perkara-perkara yang diadili oleh Mahkamah Tentara.
Dalam melaksanakn tugasnya, pejabat-pejabat dari peradilan umum diberi hak untuk menggunakan perlengkapan militer sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1946 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor S.4 Tahun 1948 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1946, tentang “Peraturan tentang pemberian pangkat militer kepada Ketua, Wakil Ketua, Anggota-anggota, Jaksa dan Panitera Pengadilan Militer” ditetapkan sebagai berikut :
a.       Ketua Mahkamah Tentara Agung diberi pangkat Letnan Jendral.
b.      Wakil Ketua Mahkamah Tentara Agung diberi pangkat serendah-rendahnya Mayor Jendral.
c.       Anggota Mahkamah Tentara Agung yang juga menjadi anggota Mahkamah Agung diberi pangkat srendah-rendahnya Kolonel.
d.      Anggota Mahkamah Tentara Agung ahli hukum yang dimaksudkan pada Pasal 8 ayat (2) Undang-undang tentang Pengadilan Tentara diberi pangkat serendah-rendahnya Kolonel.
e.       Jaksa Tentara Agung diberi pangkat serendah-rendahnya Mayor Jendral.
f.       Jaksa Tentara Tinggi tingkat I diberi pangkat serendah-rendahnya Kolonel.
g.      Panitera Mahkamah Tentara Agung diberi pangkat serendah-rendahnya Letnan Kolonel.
h.      Ketua Mahkamah Tentara diberi pangkat serendah-rendahnya Letnan Kolonel.
i.        Ketua Pengganti Mahkamah Tentara diberi pangkat serendah-rendahnya Letnan Kolonel.
j.        Jaksa tentara diberi pangkat serendah-rendahnya Mayor.
k.      Jaksa Tentara Pengganti diberi pangkat serendah-rendahnya Mayor.
l.        Panitera Mahkamah tentra diberi pangkat serendah-rendahnya Kapten.

2.      Peradilan Militer berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948
                  Dalam situasi darurat seperti saat Belanda dating kembali sambil membonceng sekutu, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1948 tentang Perubahan beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946.
                  Yuridiksi Peradilan ketentaraan lebih diperluas meliputi kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:
a.         Seorang yang pada waktu itu adalah orang Prajurut Tentara Nasional Indonesia.
b.         Seorang yang pada wakti itu adalah orang yang oleh Presiden dengan peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan prajurit yang dimaksud pada bagian a.
c.         Seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau jawaban yang dipersamakan atau dianggap sebagai tntara oleh atau berdasarkan undang-undang.
d.        Seorang yang tidak termasuk golongan a, b, dan c tetapi atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan.
Badan-badan peradilan militer terdapat dalam Pasal 1 yang mengatur Kekuasaan Kehakiman, dalam peradilan Ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan Tentara yang terdiri dari :
a.         Mahkamah Tentara
b.         Mahkamah Tentara Tinggi
c.         Mahkamah tentara Agung
Dalam Pasal 5 Kekuasaan Kejaksaan dalam peradilan ketentaraan dilakukan perubahan sehingga menjadi :
a.         Kejaksaan Tentara
b.         Kejaksaan Tentara Tinggi
c.         Kejaksaan Tentara Agung
                                                
Pasal 6 memberikan penekanan kepada Kejaksaan dalam peradilan ketentaraan untuk melakukan kewajiban yang dikehendaki oleh undang-undang yakni menjalankan pengusutan dan penuntutan atas kejahatan dan pelanggaran yang harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, dan mengusahakan menjalankannya putusan-putusan pengadilan tersebut.
Dalam Pasal 33 diberikan hak kepada Presiden untuk membentuk pengadilan tentara luar biasa yang susunannaya menyimpang dari peraturandalam undang-undang ini.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 menetapkan tempat kedudukan Mahkamah-mahkamah Tentara beserta daerah hukumnya ditetapkan oleh Menteri Kehakiman, dan disamping tiap-tiap Mahkamah Tentara terdapat satu Kejaksaan Tentara yang daerah hukumnya sama dengan Mahkamah Tentara.
Yustisiabel atau orang-orang yang ditundukkan dalam masing-masing badan pengadilan di dalam peradilan ketentaraan diatur dengan jelas dalam pasal-pasal sebagai berikut :
a.         Pasal 9 menentukan bahwa Mahkamah Tentara memutuskan dalam tingkatan pertama perkara pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan prajurit berpangkat Kapten kebawah termasuk suatu pasukan yang berada di dalam daerah hukumnya.
b.         Pasal 15vmenentukan bahwa Mahkamah Tentara Tinggi memutuskan dalam tingkatan pertama perkara-perkara yang salah satu terdakwanya adalah prajurut yang perpangkat Mayor ke atas.
c.         Pasal 16 mahkamah Tentara Tinggi memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat kedua segala perkara-perkara yang telah diputuskan oleh Mahkamah Tentara dalam daerah hukumnya yang diminta ulangan pemeriksaan.
d.        Pasal 29 menentukan bahwa Mahkamah Tentara Agung memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat keduasegala perkara yang telah diputuskan oleh Mahkamah Tentara Tinggi dalam peradilan tingkat pertama yang dimintakan ulangan pemeriksaan.
e.         Pasal 30 menentukan bahwa Mahkamah Tentara Agungpada tingkatan peradilan pertama da juga terahkir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang berhubung dengan jabatannya dilakukan oleh :
1.      Panglima Besar.
2.      Kepala Staf Angkatan Perang.
3.      Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara.
4.      Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera.
5.      Komandan Teritorium Jawa.
6.      Komandan Teritorium Sumatera.
7.      Panglima Kesatuan Reserve Umum.
8.      Kepala Staf Pertahanan Jawa Tengah.
9.      Kepala Staf Pertahanan Jawa Timur.
Pemberontakan yang dilakukan oleh Muso dan Amir Syarifudin memang diadili di peradilan militer. Tapi karena pemberontakan dilakukan bersama rakyat sipil, maka dalam proses peradilan dirasa menyulitkan terutama dalam mencari paying hukum yang memiliki sandaran kuat dan dapat secara tuntas menangani secara keseluruhan. Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1948 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948.
Pasal 1 Peraturan Pemeritah Nomor 74 Tahun 1948 menyebutkan bahwa antara Pasal 3 dan Paasal 4 diadakan pasal baru yaitu Pasal 3a yang mengatur tentang :
“Pengadilan Tentara mengadili pula perkara-perkara kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga jikalau kejahatan-kejahatan tersebut termasuk title 1 atau title 2 buku II dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara dan dilakukan dalam lingkungan yang dinyatakan berbahaya berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Dasar.”
Selain menambah dengan Pasal 3a, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1948 menghapuskan Pasal 15 ayat (4), (5) dan (6) dan Pasal 23 ayat (2) serta merubah Pasal 30 ayat (1) dalam Pasal 3 menjadi Mahkamah Tentara agunng pada tingkatan peradilan pertama dan juga terakhir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang berhubungan dengan jabatan yang dilakukan oleh :
a.       Panglima Besar
b.      Kepala Staf Angkatan Perang
c.       Kepala Staf Angkatan Darat, LAut, Udara
d.      Panglima Tentara dan Territorium Jawa
e.       Panglima Tentara dan territorium Sumatera
f.       Panglima Divisi

D.    Peradilan Militer Indonesia Pada Masa Agresi Belanda Ke-II
         Peraturan Darurat Tahun 1949 Nomor. 46/MBKD/49 tanggal 7 Mei 1949 mengatur hal-hal sebagai berikut :
1.      Tentang Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
2.      Tentang Peradilan Sipil Pemerintahan Militer
3.      Tentang Mahkamah Luar Biasa
4.      Tentang Cara Menjalankan Hukuman Penjara
    Susunan Pengadilan Militer Pemerintahan Militer saat itu terdiri dari 3 badan, yaitu :
1.         Mahkamah Tentara Onderdistrik Militer atau MTODOM.
2.         Mahkamah Tentara Distrik Militer atau MTDM.
3.         Mahkamah Tentara daerah Gubernur Militer atau MTGM.

E.     Peradilan Militer Indonesia Pada Masa Republik Indonesia Serikat
         Peraturan yang masih berlaku terkait dengan peradilan militer saat itu adalah :
1.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1949 Tanggal 25 Desember 1949 tentang Penghapusan Peraturan Darurat Nomor 46/MBKD/49 dan menghidupkan kembali Pengadilan Tentara sebelum tanggal 7 Mei 1949.
2.      Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan dan Kejaksaan dan lingkungan ketentaraan.
      Diwilayah RIS, selain ada TNI sebagai organisasi militer yang dimiliki, terdapat juga militer asing yaitu anggota militer kerajaan Belanda yang terdiri dari KL (Koninklijke Leger), KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger), ML (Militaire Luchvaart) dan KM (Koninklijke Marine), VB(Veileghed Bataljon). Tentara Belanda ini memiliki peradilan militer sendiri, namun peradilan militer tersebut dinyatakan tidak berwenang di dalam wilayah RIS, sehingga dasar hukum peradilan militer Belanda saat itu termasuk :
a.         Verodening CCO AMACAB (Chief Commanding Officer Allied Military Aministraction Cicil Affair Branch) Nomor XX.
b.         Verodening CCO AMACAB (Chief Commanding Officer Allied Military Aministraction Cicil Affair Branch) Nomor XXV.
c.         Verodening AMTB Nomor III.
d.        Provisionele Instructie Voor het Hoog Militaire Gerechtshop va’ Nederlandsch Indie (Stbl.1945 Nomor 125).

F.      Peradilan Militer Indonesia Pada Masa Undang-Undang Dasar Sementara
         Pada tanggal 12 dan tanggal 14 Agustus 1950 Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat memberikan persetujuan atas dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara. Dalam Pasal 142 Rancangan UNdang-Undang Dasar Sementara  menyatakan bahwa :
         Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini.”
         Pada tanggal 13 Maret 1951 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, yang intinya adalah :
1.      Penghapusan pengadilan yang tidak sesuai lagi dengan suasana Negara kesatuan.
2.      Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
3.      Selanjutnya Pengadilan Agama dan Peradilan Desa.
4.      Pembentukan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di tempat-tempat tertentu.
         Pada tahun 1950 sampai dengan 1956dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan mengenai kedudukan dan daerah hukum Pengadilan-pengadilan Tentara sebagai berikut :
1.      Untuk daerah Jawa dan Madura berdasarkan Keputusan Bersama Nomor 1 Tahun 1950 Tanggal  8 Mei 1950 jo Nomor 2 Tahun 1950 Jo Nomor 3 Tahun 1950 tanggal 6 Januari 1956 ditunjuklah tempat Pengadilan-pengadilan Tentara sebagai berikut :
a. Jakarta meliputi wilayah hukum Kotapraja Jakarta Raya Keresidenan Jakarta, Banten, Bogor, Kepulauan Riau (Tanjung Pinang).
b. Bandung meliputi wilayah hukum Keresidenan Priangan dan Cirebon.
c. Pekalongan meliputi wilayah hukum Keresidenan Pekalongan dan Banyumas.
d.Semarang meliputi wilayah hukum Keresidenan Semarang dan Pati.
e. Yogyakarta meliputi wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta dan Keresidenan Kedu.
f.  Surakarta meliputi wilayah hukum Keresidenan Surakarta dan Madiun.
g. Surabaya meliputi wilayah hukum Keresidenan Surabaya, Bojonegoro, Kediri, Madiun.
h. Malang meliputi wilayah Keresidenan Malang dan Besuki.
               Sebagai tempat kedudukan Pengadilan Tentara Tinggi, ialah :
a. Jakarta meliputi wilayah hukum Pengadilan Tentara Jakarta, Bandung, Pekalongan, semarang, Yogyakarta, Surakarta dan Palembang.
b. Surabaya meliputi wilayah hukum Pengadilan Tentara Surabaya, Malang dan Kalimantan.
2.      Untuk daerah Sumatera telah dikeluarkan Keputusan Bersama Nomor 2 Tahun 1950 tanggal 18 September 1950 Jo Nomor 2 Tahun 1951 Tanggal 21 Mei 1950 Jo Nomor 4 Tahun 1953 tanggal 12 Oktober 1953 Jo Nomor 1 Tahun 1956 Tanggal 6 Juni 1956 ditunjukan tempat-tempat kedudukan Pengadilan-pengadilan Tentara sebagai berikut :
a. Medan meliputi wilayah hukum Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Riau dikurangi Kabupaten Kepulauan Riau (Tanjung Pinang).
b. Padang meliputi wilayah hukum Keresidenan Sumatera Barat, Kampar (Pekan Baru), dan Riau.
c. Palembang meliputi wilayah hukum Keresidenan Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung.
               Sebagai tempat kedudukan Pengadilan Tentara Tinggi, ialah Medan meliputi wilayah hukum Pemgadilan Tentara seluruh Kepulauan Sumatera, dikurangi daerah hukum Pengadilan Tentara Palembang.
3.      Untuk daerah Kalimantan telah dikeluarkan Keputusan Bersama Nomor 5 Tahun 1950 Tanggal 18 September 1950 Jo Nomor 2 Tahun 1951 tanggal 31 Mei 1951 ditunjuklah tempat kedudukan Pengadilan-pengadilan Tentara sebagai berikut :
a. Pontianak meliputi wilayah hukum Keresidenan Kalimantan Barat dan kepulauannya.
b. Banjarmasin meliputi wilayah hukum Keresidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur beserta pulau-pulaunya.
4.      Untuk daerah bekas Negara Indonesia Timur telah dikeluarkan Keputusan Bersama Nomor 1 Tahun 1951 tanggal 3 Maret 1951 Jo Nomor 1 Tahun 1953 tanggal 6 Januari 1953 ditunjuklah tempat kedudukan Pengadilan-pengadilan Tentara adalah :
a. Makassar meliputi seluruh wilayah hukum Sulawesi
b. Ambon meliputi seluruh wilayah hukum Maluku.
c. Denpasar meliputi seluruh wilayah hukum Kepulauan Nusa Tenggara.

G.    Lahirnya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958 Sebagai Hukum Acara Pidana Militer yang Mencantumkan Kewenangan Komandan Dalam Proses Hukum Terhadap Anggotanya
            Dengan menguatnya peran politik  TNI saat itu dan dengan munculnya ahli hukum dari kalangan militer, maka dengan alasan demi kepentingan organisasi militerdengan tidak mengenyampingkan kepentingan penegakan hukum saat itu, akhirnya dibentuk peradilan militer tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara yang tercantum pada Pasal 35 :
1.      Angkatan Perang mempunyai peradilan tersendiri dan Komandan memiliki hak penyerahan perkara.
2.      Susunan dan kekuasaan badan-badan yang diserahi penyelenggaraan peradilan ketentaraan dalam arti luas, hukum pidana tentara, materil dan formil, termasuk juga hukum disiplin tentara, diatur dengan undang-undang.
                        Selain menyatakan bahwa Angkatan Perang mempunyai peradilan tersendiri dan Komandan memiliki hak penyerahan perkara Sistem beracara dalam lingkunga peradilan militer juga diubah dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958 tentang Acara Pidana Tentara Pada Pengadilan Ketentaraan yang merubah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 yang menyatakan bahwa Hukum Acara Pidana Tentara mempedomami Het Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) dan menekankan bahwa tiap-tiap Perwira wajib menjatuhkan penahan kepada bawahan yang ada dalam wilayah komandonya apabila ia mengetahui atau dengan alasan yang cukup untuk menyngka, bahwa seorang militer bawahannya itu telah melakuakan suatu tindak pidana berat, selanjutnya Perwira tersebut segera melaporkan kepada Atasan yang berhak menghukum, yakni para Komandan satuan yang membawahkan langsung tersangka, sehingga komandan harus mengetahui segala persoalan dan proses hukum yang terjadi terhadap anak buahnya, inilah yang menjadi awal dari munculnya istilah ANKUM (Atasan yang berhak menghukum) dan PAPERA (Perwira Penyerah Perkara).

H.    Peralihan dari Hakim dan Jaksa Sipil ke Hakim dan Jaksa Militer
            Setelah muncul tenaga-tenaga hukum dari militer maka pada tahun 1961npara Jaksa dan Hakim duilingkungan pengadilan tentara yang dirangkap oleh Jaksa dan Hakim dari Pengadilan Negeri diganti oleh tenaga-tenaga ahli dibidang hukum dan tentara, yang didasarkan oleh Instruksi Menteri Jaksa Agung No 157/MDJAG/1961/SI tanggal 11 April 1961. Selain itu, berdasarkan Surat Keputusan Bersama KASAD dan Menteri Jaksa Agung No . MK/KPTS-189/9/1961 tanggal 19 September 1961 Menteri Jaksa Agung mengalihkan  wewenang, kekuasaan dan tanggung jawabnya yang berhubungan dengan Kejaksaan Tentara kepada Oditurat Militer.

I.       Masuknya Polri Dalam Yuridiksi Peradilan Militer
            Dengan masuknya Kepolisian dalam organisasi Angkatan Bersenjata maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 PNPS Tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara , Hukum Acara Pidanan Tentara dan Hukum Disiplin Tentara bagi anggota-anggota Angkatan Kepolisian, maka sejak saat itu Kepolisian menjadi yustisiabel peradilan miter.
            Sesuai dengan bergulirnya era reformasi pada tahun 1988, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam ketetapannya No X/MPR/1988 menginstruksikan kepada Presiden selaku mandetaris MPR untuk melaksanakan agenda reformasi dibidang hukum dalam bentuk “pemisahan secara tegas fungsi dan tugas aparatur penegak hukum, agar dapat dicapai proporsionalitas , profesionalitas dan integritas yang utuh”, selanjutnya Presiden berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia keluar dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan tidak lagi sebagai yustisiabel peradilan militer melainkan menjadi yustisiabel peradilan umum sama seperti warga sipil.

3.      Peradilan Militer Khusus
      Dalam kondisi dimana Negara dalam keadaan bahaya karena banyaknya pemberontakan yang terjadi, maka dalam bidang peradilanperlu diadakan peraturan-peraturan khusus, bersifat sederhana dan praktis agar peradlan mampu menjalankan fungsinya. Peraturan-perturan peradilan dalam keadaan biasa sudah pasti tidak dapat berjalan, terutama ditempat yang terjadi pertempuran atau di daerah lain yang terputus hubungan dengan pusat. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1946-1948 dalam lingkungan peradilan militer diadakan peradilan-peradilan khusus, yaitu :
a.      Mahkamah Tentara Luar Biasa.
Dasar hukum dibentuknya Mahkamah Tentara Luar Biasa adalah Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1947. Pertimbangan diadakannya badan ini adalah untuk mempermudah melaksanakan peradilan di beberapa daerah di Indonesia, berhubung pada waktu ituyang dalam keadaan darurat.
b.      Mahkamah Tentara Sementara.
Dasar hukum Mahkamah Tentara Sementara adalah Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1947 yang bertujuan untuk menyesuaikan jalannya Pengadilan Tentara dengan keadaan perang, yang memerlukan penyelesaian perkara secara lebih cepat.
c.      Mahkamah Tentara Daerah Terpencil.
Dasar hukum dibentuknya badan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1947 yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan tentang dimungkinkannya pembentukan suatu pengadilan tentara yang disebut Mahkamah Tentara Daerah Terpencil. Keberadaan badan ini adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara secara lebih cepat di daerah-daerah yang sama sekali terpencil dari daerah lainnya dan Pengadilan Tentara yang dibentuk tidak mampu menjangkaunyya.
d.     Mahkamah Militer Luar Biasa.
Pada tahun 1963, dengan pertimbangan bahwa masih terjadi perkara-perkara yang merupakan bahaya besar bagi bangsa dan Negara yang sedang berevolusi membentuk masyarakat sosialis Indonesia, hingga memerlukan penyelesaian segera, bahwa untuk itu dibentuk suatu badan pradilan khusus yang dapat memriksa dan mengadili perkara-perkara tersebut dengan cepat.
Peraturan sebagaimana tercantum dalam Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1963 ini lebih dititik beratkan kepada pengamanan usaha-usaha untuk mencapai tujuan revolusi sehingga perlu mengambil kebijakan khusus dan darurat, bahkan perkara khusus dimaksud harus ditentukan oleh presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 yang menyatakan :
“Mahkamah Militer Luar Biasa disingkat MAHMILUB, merupakan badan peradilan di lingkungan Angkatan Perang yang diserahi tugas untuk memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden Republik Indonesia”.











Title: Hukum Acara Peradilan Militer : Rangkuman Buku Hukum Acara Peradilan Militer Bab I-III; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar